Pada 2 Agustus nanti, akan genap dua tahun Bapak pergi. Senantiasa teringat kata-kata Ibu:
"Pas urip pengen mateni, wis mati kok yo ngangeni."
Ngaturaken Al Fatihah, kagem Bapak yang sudah sabar mengajari saya naik sepeda dan sepeda motor--meski berkali-kali nabrak tiang listrik dan pohon. Yang sering mengisi sisa sepertiga malamnya dengan membuat rak buku kayu untuk komik-komik saya yang lebih banyak dari buku pelajaran saya, memastikan bahwa saya bangun pagi dengan sumringah karena punya rak buku baru. Yang tak pernah marah meski tiap sekolah selalu ada telepon dari guru BK ke rumah, melaporkan saya yang bermasalah ini-itu, sampai beberapa kali hampir dikeluarkan dari sekolah pun Bapak tak pernah marah. Ketika ada surat DO dari UI dikirim ke rumah, Bapak menelepon untuk meminta saya menjelaskan bagaimana saya bisa mendapat surat DO, dengan nada yang tenang, tidak marah sama sekali, yang justru membuat saya gemetar. Di akhir telepon saya berjanji akan wisuda--dan itu terpenuhi: Bapak mengantar saya wisuda di Balairung UI.
Menuju dewasa, jika ada masalah, diam-diam saya coba selesaikan sendiri, tapi Bapak adalah orang yang dikaruniai intuisi. Sering ia tetiba menelepon: "Ndak ada apa-apa, Ndhuk?"|| Nggak. || "Tenan?" || Nggak." || "Crito nek ada apa-apa" || .... saya pun bercerita sambil menangis. Masalah-masalah kecil saja ketika itu, tapi saya anak manja baru lulus kuliah.
Saya kini mengerti, betapa gemasnya Ibu, dalam rindu tak terperi.
Depok, 7 Juli 2019.
Comments
Post a Comment