Skip to main content

“Saya tidak pernah akur dengan kenangan. Apa yang bisa saya beli darimu?” Tanya saya kepada penjual kenangan



Penjual Kenangan, dan jendela yang menyetia 


Saya dan Iwied telah saling mengenal sejak kami semester satu, itu sekitar 12 tahun lalu. Kami dua tahun satu asrama dan satu fakultas pula, FIB-UI; saya di Sastra Jepang dan Iwied jurusan Sastra Indonesia. Karenanya, sedikit banyak saya mengenalnya secara pribadi, pun tulisan-tulisannya. Saya, Iwied dan Gita—sahabat Iwied, rumah segala kenangan, demikian Iwied menyebutnya di halaman persembahan Penjual Kenangan—sama-sama suka menulis puisi dan kisah fiksi. Namun dalam perjalanan, saya lebih condong ke (bacaan) non-fiksi, buku referensi, penelitian dan jurnal. Dulu kami bercita-cita, suatu hari kami bertiga akan sama-sama jadi penulis fiksi J 

Penjual Kenangan adalah buku Iwied yang pertama kali saya tamatkan. Sebelumnya saya sudah tahu Kucing Melulu dan Cerita Cinta (Me)Lulu, tapi menyerah pada halaman-halaman awal. Ini hanya masalah selera.

Dalam buku ini, Penjual Kenangan menawarkan repih-repih kenangan, pada saya, yang pernah membakar buku harian berisi segala kenangan hari kemarin ketika saya masih kelas 5 SD. Dan sejak saat itu, saya tidak pernah memiliki buku harian. Sebegitu bencikah saya pada kenangan? Tidak. Saya cuma terlalu rapuh menghadapi kenangan, dan itu bisa membuat hari-hari saya berantakan, karenanya saya menghindari risiko "berantakan cuma karena remeh-temeh kenangan". Itulah mengapa saya tidak pernah menyimpan segala memorabilia—tiket bioskop, struk resto kencan, tiket kereta bersama seseorang yang istimewa, bahkan bunga dari (mantan) pacar pun saya buang segera setelah layu. Berbeda sekali dengan Iwied. Hanya orang kuat yang sanggup melakukan itu, dan itu bukan saya.

Dari 11 repih kenangan yang dijajakan Penjual Kenangan, tentu tidak semua saya “beli”. Di antara 11, saya paling suka Percakapan Nomor-Nomor, yang endingnya nyebelin. Selain itu, di repih inilah Iwied mengurangi “memanjakan telinga dengan bersendu-sendu bahasa”. Ahaha, saya tidak tahu bagaimana menyebutnya, tapi di Percakapan Nomor-Nomor saya tidak akan bertemu kata-kata seperti “bunga, kunang-kunang, bintang pagi, cahaya, peri” dan sejenisnya. Iya, sih, kembali lagi ini pada masalah selera, hehe…

Kenapa saya suka sekali Percakapan Nomor-Nomor? Karena di situ saya bertemu kemiskinan yang tidak dibalut romantisasi bahasa. Keluarga miskin. Beli nomor togel. Dan terus berjudi dengan nasib serta masa depan keluarganya. Nyata. 

Tadinya saya sudah ngeri membayangkan di akhir cerita Iwied akan menutupnya dengan “seorang ayah yang terpekur, menunduk dalam-dalam penuh penyesalan dan berjanji tidak akan beli nomor togel lagi”. Untunglah. Untunglah happy ending itu tidak terjadi. Ini bukan karena sekadar “seru” bahwa endingnya bukan “si jahat bertaubat”; tapi lebih karena pada kenyataannya memang hampir tak mungkin lepas dari jerat angka-angka pemberi harapan palsu. Itu saja.

Tapi tunggu! Ada yang mengalahkan kesukaan saya pada Percakapan Nomor-Nomor, yaitu Tengara Langit. Lagi-lagi tentang kemiskinan. Pada repih ini, sebuah keluarga Jawa yang sangat miskin (saya rasa memang pastilah keluarga dalam repih ini sangat miskin, sampai-sampai mereka diceritakan minum teh tanpa gula. Sebagai orang Jawa yang lahir dan besar di Jawa, saya tahu bahwa hampir mustahil orang Jawa minum teh tanpa gula. Teh tanpa gula adalah teh yang belum jadi, tidak layak disajikan, kecuali untuk obat diare. Semiskin-miskinnya orang Jawa pastilah ada gula di dapurnya. Nenek saya bahkan minum air hangat dengan sesendok gula. Dalam hal minuman, orang Jawa memiliki kredo nasgithel—panas, legi (manis), kenthel (kental). Yah, begitulah lidah orang Jawa. Jadi ketika keluarga dalam repih ini minum teh tanpa gula, saya menyimpulkan, pastilah kemiskinannya sungguh tak tertanggungkan. Tapi siapa yang dapat menandingi “keprihatinan” orang Jawa?

Selain penggunaan ujaran “toh”—bahasa Jawa menggunakan “tho”, bukan “toh” yang berasal dari bahasa Belanda dengan makna berbeda—yang sedikit menganggu, selebihnya repih Tengara Langit ini sangat nasgithel dengan caranya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti “miskinkah mereka?”, “miskinkah kita?” sangat kenthel dalam filosofi Jawa yang selalu mengajukan pertanyaan fundamental, dan tantangan itu dijawab dengan tegar oleh Iwied lewat repih ini, dengan medium jawaban yang tak kalah bernas: tengara

Saya yang Jawa, atau siapa pun yang dibesarkan oleh orangtua Jawa di tanah Jawa, pasti tak asing dengan tengara. Meski sudah terlampau jauh adat, meski sudah demikian berjarak dengan kampung halaman, sayup-sayup telinga kecil saya tak akan memungkiri bahwa tengara adalah salah satu denyut nadi kehidupan manusia Jawa.

Lalu, bagaimana dengan repih-repih lain yang dijajakan? Ah, Wied..  Apa aku sudah pernah bilang, Carano di repih pertama itu membuatku sedih bukan kepalang. Bukan, bukan pada perempuan-perempuan yang disakiti laki-laki itu aku bersimpati. Sama sekali aku tidak peduli nasib mereka. Aku sedih membayangkan menjadi Amak, Wied, ibu mereka.

Tanyolah, apakah dia dan keluarganya mau kita bawakan carano.”… “Dan, jan lupo pulo, tanyo apakah keluarganya makan siriah. Amak tak sabar membayangkan anak bungsu Amak jadi nak daro. Pasti rancak kau, Nak, pakai suntiang gadang.” (hlm. 23)

Saya bukan orang Minang, buta adat Minang. Saya orang Jawa yang tidak paham adat Jawa. Keluarga saya sama sekali tidak mengajarkan ritual adat bahkan untuk peristiwa-peristiwa besar perjalanan hidup manusia. Tapi, atau justru karenanya, saya sesedih Amak ketika carano yang dialatinya tak lagi dipahami sebagaimana Amak memahaminya. Mungkin ketika saya membaca Carano ini, saya sedang mengasihani diri sendiri. 

*Hei, Uswah, kau orang Jawa, bukan? Tahu kau hitungan sepasar? Pernah lihat kau upacara tedhak siten? Kudengar keluargamu satu-satunya yang menolak sumbangan sedekah bumi di kampungmu dulu? Ah, kau bahkan tak pernah tahu weton lahirmu. Tak pernahkah kau dibuatkan bubur merah-putih di hari wetonmu? Ah, kasihan sekali.

Ah, .. rancak nian carano itu, Wied! Tapi jangan kau pasang harga tinggi untuk kawanmu si penghancur kenangan ini! Beberapa repih aku sangat suka dan pasti kubeli meski dengan harga tinggi, tak perlu kutawar pun. Tiga repih yang kusebut itulah. Beberapa repih yang lain, kalau boleh kutawar, bisa juga aku beli. Tapi kalau tidak kau lepas pun, masih nyenyak tidurku malam ini. Tapi tiga repih itu, Wied, aku penawar tertingginya. Camkan itu.

Depok, 10 April 2013

Comments

  1. entah bagaimana, gw haru baca tulisan ini :") makasih uswah.

    ReplyDelete
  2. Jadi pengin baca bukunya :D
    Sila mampir ke blogku juga ya, salam

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Sebab Hanya Anda yang Tahu Perihal “Hembus Angin Utara”

Judul asli: Gut gegen Nordwind (2006) Judul terjemahan: Hembus Angin Utara (Darbook, 2009) Penulis: Daniel Glattauer Penerjemah: Ahmad Mulyadi Saya jenis manusia konservatif. Jarang chatting kecuali ada janji. Skype dan gtalk nyala kalau ada perlu. Segala fasilitas macam BBM, iMessage, Kakaotalk, line, whatsapp, belum pernah saya sentuh. Meski akrab dengan fasilitas teleconference dan aplikasi Go To Meeting di kantor, saya tidak akan melakukannya jika kolega sama-sama berada di Jakarta. Saya lebih puas bertemu, menatap langsung wajah kawan bicara saya, membaca mimik dan gerak-gerik tubuhnya, meraba-raba senyum palsu dan tawa basa-basinya. Tidak ada yang lebih indah daripada pecah tawa bersama-sama, tidak ada yang bisa menyamai lirikan sarat konspirasi dan senyum penuh arti. Tidak akan ada ekspresi yang bisa terganti dengan hahaha, xoxoxo, ck ck ck ck, xi xi xi xi, hihihi, hohoho, bahkan wkwkwkwkw! Pun emoticon paling rumit yang tersedia di gadget Anda J Jadi, sa

A GIRL WITH A HENRI BENDEL TOTE BAG

Saya akan memulai catatan ini dengan sebuah pengakuan: saya bukan shopaholic. Saya akui sebagian besar cewek suka belanja, pun saya, tapi saya belajar untuk lebih menahan diri dan rasional, minimal tidak impulsif. Orangtua saya tidak gemar belanja, dan saya dibesarkan di kota kecil Pati, Jawa Tengah, yang membuat saya tidak terpapar pusat perbelanjaan. Satu-satunya kegiatan  shopping  yang paling menyenangkan bersama keluarga adalah memborong sayur-sayuran di dataran tinggi Kopeng--bagasi penuh sayur dan kegiatan menyenangkan berikutnya adalah mendatangi rumah tetangga satu per satu dan berbagi sayuran segar (saya paling ingat bagian ini, karena tiap kali saya disuruh memberi hantaran ke rumah tetangga, saya harus menghapal dulu kalimat bahasa Jawa halus untuk diucapkan, " Sugeng enjang/siang/sonten. Niki ngaturaken oleh-oleh saking ibu.." ---habis itu kalau ditanya macam-macam pasti jawabannya bahasa Jawa campuran ngoko-kromo + bahasa Indonesia).  Shopping  lain yang t

#EstafetBuku: Mari Berbagi Racun dalam Buku

Awalnya gw abis baca novel "Pulang" karya wartawan Tempo: Leila S. Chudori yang selama membaca dan khatamnya, bikin mood gw berantakan, menimbulkan sensasi berbagai rasa. Mungkin karena gw memang suka baca tentang "sisi hitam Indonesia", mungkin juga karena gw pernah dekat dengan seorang tapol Buru yang disiksa dengan ekor ikan pari; mungkin juga karena gw pernah sangat kesal dengan Taufik Ismail yang "merusak" peluncuran buku tapol Buru tersebut. Terlalu menyederhanakan masalah jika lo nyebut "komunis itu atheis dan membantai banyak orang di Indochina, bla bla bla.. Kalian anak muda nggak usah gampang terpesona dengan pemikiran-pemikiran kiri." Gw terhina sebagai anak muda, yang duduk sebagai pembicara dalam sebuah bedah buku di UIN Jakarta itu. Jadi, setelah baca "Pulang", gw nggak mau "tersiksa" sendirian. Gw ngerasa bahwa semua orang generasi gw dan generasi di bawah gw harus banget baca novel itu. Gw udah lama banget ga