Pernah ada satu waktu di penghujung era 90-an dan awal 2000, majalah Annida--yang mungkin awal mula genre "sastra Islam(i)", rintisan Forum Lingkar Pena, dengan penggagas kakak-beradik Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia--begitu mempesona gadis-gadis remaja seusia saya. Semua teman satu SMA berebutan membaca atau berlangganan Annida, seringkali dibawakan kakak-kakak kelas 3.
Teman-teman saya sering berkumpul seminggu sekali, biasanya Jumat siang, rujakan berbalut pengajian, keputrian, sembari membahas isi Annida, yang kebanyakan berisi cerpen bertema kisah cinta muda-mudi yang dikemas Islami. Sangat sesuai dengan jiwa remaja kami saat itu.
Saya tidak pernah tertarik mengikuti kelompok keputrian itu--yang segera menjadi bahan gunjingan anak-anak Rohis sekolah--karena saya berjilbab ketika itu. Hanya ada dua cewek berjilbab di sekolah saya yang menolak mengikuti majelis keputrian itu: saya dan seorang teman lagi, tapi ia jamaah LDII, jelas tidak akan mau satu jamaah dengan pecinta Annida. Saya kurang jelas alasannya. Jelas sih: malas. Tapi tidak sopan mengatakan itu di hadapan kakak-kakak kelas tiga. Saya sebenarnya tidak suka acara ngumpul-ngumpul (yang isinya cuma perempuan tanpa laki-laki, basi sekali!), apalagi berbalut pengajian/keputrian. Kalau rujakan itu favorit teman-teman perempuan saya, itu justru memberi efek sebaliknya bagi saya. Saya tidak suka rujak--atau apa pun buah dipotong-potong dicocol sambal pedas, beberapa orang (misoginis) menyebutnya makanan perempuan. Alasan lain sih, saya tidak suka Annida, yang akhir ceritanya selalu berjilbab dan taubat.
Sebelum saya membaca Annida, saya telah membaca karya-karya Ahmad Tohari, Romo Mangun, Pramoedya, Budi Darma, Umar Kayam, Iwan Simatupang, Kuntowijoyo, NH Dini... saya sudah bersentuhan dengan karya Kho Ping Ho, jadi saya tak memiliki skala yang dapat digunakan untuk mengapresiasi Annida. Sementara teman-teman saya terkagum-kagum pada iman tokoh-tokoh remaja dalam cerpen Annida yang (selalu) memutuskan tidak akan pacaran, bertaubat dan lantas berjilbab; saya jauh lebih terkagum-kagum pada keberanian Roro Mendut menentang Tumenggung Wiraguna demi cintanya pada Pranacitra. Saya jauh lebih terpesona pada Nyai Ontosoroh. Saya jauh lebih larut dalam kepahitan tutur Iwan Simatupang.
Setiap saya selesai membaca satu cerpen di Annida, saya selalu berpikir: ah, selalu tokoh utamanya berakhir dengan jilbab dan taubat. Apa kalian sedang menciptakan sebuah kota malaikat? Bahkan malaikat pun butuh seorang bangsat. Akan dikemanakan Malaikat Atid tanpa kehadiran bangsat-bangsat keparat?
Saat itu saya pun menemukan iman sastra saya: non-Annida.
Depok, 8 April 2012.
Teman-teman saya sering berkumpul seminggu sekali, biasanya Jumat siang, rujakan berbalut pengajian, keputrian, sembari membahas isi Annida, yang kebanyakan berisi cerpen bertema kisah cinta muda-mudi yang dikemas Islami. Sangat sesuai dengan jiwa remaja kami saat itu.
Saya tidak pernah tertarik mengikuti kelompok keputrian itu--yang segera menjadi bahan gunjingan anak-anak Rohis sekolah--karena saya berjilbab ketika itu. Hanya ada dua cewek berjilbab di sekolah saya yang menolak mengikuti majelis keputrian itu: saya dan seorang teman lagi, tapi ia jamaah LDII, jelas tidak akan mau satu jamaah dengan pecinta Annida. Saya kurang jelas alasannya. Jelas sih: malas. Tapi tidak sopan mengatakan itu di hadapan kakak-kakak kelas tiga. Saya sebenarnya tidak suka acara ngumpul-ngumpul (yang isinya cuma perempuan tanpa laki-laki, basi sekali!), apalagi berbalut pengajian/keputrian. Kalau rujakan itu favorit teman-teman perempuan saya, itu justru memberi efek sebaliknya bagi saya. Saya tidak suka rujak--atau apa pun buah dipotong-potong dicocol sambal pedas, beberapa orang (misoginis) menyebutnya makanan perempuan. Alasan lain sih, saya tidak suka Annida, yang akhir ceritanya selalu berjilbab dan taubat.
Sebelum saya membaca Annida, saya telah membaca karya-karya Ahmad Tohari, Romo Mangun, Pramoedya, Budi Darma, Umar Kayam, Iwan Simatupang, Kuntowijoyo, NH Dini... saya sudah bersentuhan dengan karya Kho Ping Ho, jadi saya tak memiliki skala yang dapat digunakan untuk mengapresiasi Annida. Sementara teman-teman saya terkagum-kagum pada iman tokoh-tokoh remaja dalam cerpen Annida yang (selalu) memutuskan tidak akan pacaran, bertaubat dan lantas berjilbab; saya jauh lebih terkagum-kagum pada keberanian Roro Mendut menentang Tumenggung Wiraguna demi cintanya pada Pranacitra. Saya jauh lebih terpesona pada Nyai Ontosoroh. Saya jauh lebih larut dalam kepahitan tutur Iwan Simatupang.
Setiap saya selesai membaca satu cerpen di Annida, saya selalu berpikir: ah, selalu tokoh utamanya berakhir dengan jilbab dan taubat. Apa kalian sedang menciptakan sebuah kota malaikat? Bahkan malaikat pun butuh seorang bangsat. Akan dikemanakan Malaikat Atid tanpa kehadiran bangsat-bangsat keparat?
Saat itu saya pun menemukan iman sastra saya: non-Annida.
Depok, 8 April 2012.
Comments
Post a Comment