Judul asli: Gut gegen Nordwind (2006)
Judul terjemahan: Hembus Angin Utara (Darbook, 2009)
Penulis: Daniel Glattauer
Penerjemah: Ahmad Mulyadi
Saya jenis manusia konservatif. Jarang chatting kecuali ada
janji. Skype dan gtalk nyala kalau ada perlu. Segala fasilitas macam BBM,
iMessage, Kakaotalk, line, whatsapp, belum pernah saya sentuh. Meski akrab
dengan fasilitas teleconference dan aplikasi Go To Meeting di kantor, saya
tidak akan melakukannya jika kolega sama-sama berada di Jakarta. Saya lebih
puas bertemu, menatap langsung wajah kawan bicara saya, membaca mimik dan
gerak-gerik tubuhnya, meraba-raba senyum palsu dan tawa basa-basinya. Tidak ada
yang lebih indah daripada pecah tawa bersama-sama, tidak ada yang bisa menyamai
lirikan sarat konspirasi dan senyum penuh arti. Tidak akan ada ekspresi yang
bisa terganti dengan hahaha, xoxoxo, ck ck ck ck, xi xi xi xi, hihihi, hohoho,
bahkan wkwkwkwkw! Pun emoticon paling rumit yang tersedia di gadget Anda J
Jadi, saya tidak pernah memiliki hubungan virtual intens dengan
orang yang saya kenal lewat dunia maya. Buat saya itu tidak masuk akal. Keintiman
tidak terbangun lewat tulisan. Keintiman tidak dikirim lewat penyedia layanan
surat elektronik. Tidak ada hal semacam itu, kecuali hidup sudah demikian
menyedihkan.
Lalu saya tergoda tulisan Della, begitu meyakinkan tentang
roman kesayangannya berjudul “Hembus Angin Utara”, dan kutipan dari roman itu
menurut saya memang memikat: “Menulis seperti mengecup, hanya tanpa bibir.
Menulis adalah mengecup dengan pikiran.”
Percakapan intens dua orang yang paling memikat pernah saya
temui dalam film, yaitu “Before Sunrise. Before Sunset”, tetapi di novel, saya
belum pernah menemuinya, terlebih ini karya terjemahan. Saya pesimis, sekaligus
penasaran, lebih karena ini roman kesayangan Della yang melepasnya di
@EstafetBuku pun ia berpikir berkali-kali. Dan saya pun menyambut tongkat
estafet “Hembus Angin Utara” itu dengan pikiran, “Kaya’ apa sih roman
kesayangan Della?”
Setengah halaman pertama dari novel itu, sejujurnya, membuat
saya mengantuk diserang rasa bosan. Saya tidak suka kedua tokoh utamanya. Leo,
menurut saya “sok tahu”, “sok tenang” tipikal laki-laki lebih tua, dengan susunan
kalimatnya yang lebih tertata bisa membuat gadis lebih muda demikian bosan—atau
justru penasaran, seperti yang terjadi pada Emmi. Tokoh Emmi ini pun bukan
karakter yang menarik bagi saya: mudah mengobral hal-hal pribadi pada orang
asing—Leo—agak flirty tapi juga defensif plus “begitu bermoral” tentang dirinya
sebagai seorang istri baik-baik dari suami yang sangat pengertian dalam sebuah
keluarga dengan kebahagiaan sempurna.
Tapi tak ada yang lebih menarik selain berurusan dengan tokoh-tokoh
yang tidak Anda sukai. Saking “nyinyirnya” saya pada dua tokoh ini—sekaligus pada
hubungan absurd mereka, mau tak mau saya harus bertemu ujung roman ini. Saya
butuh “penderitaan” mereka.
Dan di ujung cerita: saya benar-benar membenci mereka berdua—dan
sayalah yang menderita. Keduanya adalah pengecut yang takut pada perjumpaan,
karena sudah terlampau nyaman dengan keintiman virtual, tapi cemburu pada
kekasih-kekasih nyata di dunia sebenarnya: kibasan rambut yang terasa, pelukan
yang hangat, kecupan yang lembut.
Apakah kecupan dengan pikiran bisa lebih membakar ketimbang
kecupan dengan bibir?
Mungkin. Kalau tidak, mana mungkin Emmi menceritakan perihal
hembusan angin utara yang demikian mengganggu tidurnya? Hembusan macam apa yang
demikian mengganggu Leo? Tentu saja hembusan angin utara yang berani mengganggu
tidur Emmi-nya. Hanya Emmi-nya!
Depok, 25 Maret 2013.
i hate it (the ending) so much that it becomes my favorite. paradoxically annoying, yes? haha
ReplyDelete