Skip to main content

#EstafetBuku: Mari Berbagi Racun dalam Buku

Awalnya gw abis baca novel "Pulang" karya wartawan Tempo: Leila S. Chudori yang selama membaca dan khatamnya, bikin mood gw berantakan, menimbulkan sensasi berbagai rasa. Mungkin karena gw memang suka baca tentang "sisi hitam Indonesia", mungkin juga karena gw pernah dekat dengan seorang tapol Buru yang disiksa dengan ekor ikan pari; mungkin juga karena gw pernah sangat kesal dengan Taufik Ismail yang "merusak" peluncuran buku tapol Buru tersebut. Terlalu menyederhanakan masalah jika lo nyebut "komunis itu atheis dan membantai banyak orang di Indochina, bla bla bla.. Kalian anak muda nggak usah gampang terpesona dengan pemikiran-pemikiran kiri." Gw terhina sebagai anak muda, yang duduk sebagai pembicara dalam sebuah bedah buku di UIN Jakarta itu.

Jadi, setelah baca "Pulang", gw nggak mau "tersiksa" sendirian. Gw ngerasa bahwa semua orang generasi gw dan generasi di bawah gw harus banget baca novel itu. Gw udah lama banget ga ngerasain "sensasi berjuta rasa" sehabis baca karya sastra Indonesia, selain pada novel-novel Mochtar Lubis, Pram, Romo Mangun, Ahmad Tohari, dan terakhir: dua novel pertama Ayu Utami. Novel-novel lain hanya cukup membuat gw tersenyum atau jatuh tertidur.

Berangkat dari keinginan "ga mau menderita sendiri" itulah gw nge-twit untuk menawarkan novel itu, dan dibalas oleh temen sekelas gw, @epicachu. Buku itu sekarang sudah selesai dibaca Pica dan sedang ditunggu oleh temen gw yang lain, @MalkisCrackers.

Gw akhirnya mikir, kenapa nggak jadi "perpustakaan maya" aja sekalian. Gw juga terinspirasi oleh akun @nebengers, yang senantiasa berbagi kebaikan dan mengembalikan hasrat primordial kita yang tergerus kesibukan dan keegoisan sebagai manusia ibukota: berbagi. *FYI, awal gw kuliah di UI, gw dengan mudah nyetop mobil malam2 buat nebeng sampai halte Kukel. Kalau pagi, suka ada yang nawarin motor/mobil untuk bareng ke kampus karena bis kuning datangnya suka lama. Dan kita nggak saling kenal, tapi percaya bahwa orang itu nggak akan berbuat jahat sama kita.*

Oya, balik lagi ke #EstafetBuku yang ternyata disambut antusias oleh @fidellanandhita, @gustafboy, dan @rheamargareth dan jadinya bikin gw nulis entri baru di blog terbengkalai ini dan memikirkan sejumlah peraturan hehe..

Awalnya, #EstafetBuku cuma pengen mengestafetkan buku yang udah lo baca, dibaca orang lain, lalu setelah ia selesai baca, ia akan meneruskannya kepada orang lain, demikian seterusnya. Tapi kemudian gw pengen nambahin beberapa hal yang mungkin bisa mengatasi masalah seperti, "Ntar kalo macet di satu orang gimana?"; "Ntar kalo ada yang ngambil dan jadiin buku itu hak milik gimana?"; "Ntar kalo ternyata yang pinjem di luar kota/negeri, gw harus gimana ngirimnya?" Nah, mari kita coba pecahkan masalah tersebut.

Bagaimana kalau kita jadikan #EstafetBuku ini sebagai "perpustakaan maya"? Selayaknya perpustakaan, tentu ada peraturan-peraturan:

1. Buku cuma boleh dipinjam, esensi #EstafetBuku kan berbagi "racun"nya, bukan bukunya. Kalau ada yang nggak mengembalikan perpustakaan, dianggapnya mencuri kan? Karena pasti nggak mungkin menjatuhkan denda pada peminjam yang mengambil buku, maka sangat diharapkan untuk beritikad baik akan selalu mengestafetkan buku terus-menerus hingga rantainya tak terhenti, sampai nanti entah sampai bukunya lecek kaya' kembalian siomay. Seru kan ngebayangin buku yang lo beli abis pulang kuliah di lapak gedung 9 FIB-UI, dalam jangka waktu setahun udah pindah-pindah ke Bogor, Mandar, Sikka, Bukittinggi, Papua.. sementara lo-nya masih "dipenjara" skripsi :p

2. Bagaimana kalau kita batasi waktu bacanya? Sebulan + 2 minggu perpanjangan menurut kalian udah cukup belum? Atau setiap pembaca boleh ngajuin batasan wajar kapan dia akan menyelesaikan buku dan kapan mengestafetkannya? Ini demi menghindari macetnya satu judul buku pada satu orang.

3. Layaknya perpustakaan, kita boleh pesan antre pada buku yang sedang dipinjam. Misalnya, buku "Pulang" saat ini sedang dibaca @epicachu dan se-twitter raya sudah tahu bahwa pembaca berikutnya adalah @MalkisCrackers; maka lo boleh mengajukan "antre" pada buku itu, jadi kita tahu urutan antrean, dan teman yang sedang kebagian jatah membaca tahu akan mengestafetkan bukunya pada antrean pertama.

4. Kita boleh jadi penanggungjawab atas buku yang dipinjam tanpa harus jadi pembaca. Anggaplah sebenarnya rata-rata pengguna twitter adalah kalangan yang mampu beli buku, tapi mungkin tidak selalu menjadikannya sebagai prioritas.Misalnya, tetangga kita adalah orang yang daya belinya lebih rendah dari kita dan kita ingin dia membaca buku tertentu yang sedang ditawarkan di #EstafetBuku. Si tetangga tadi nggak punya PC apalagi akun twitter. Nah, kita bisa jadi peminjam untuk si tetangga: membagi ilmu lewat buku sekaligus mengenalkan fungsi positif media sosial, plus mengajarkan tanggungjawab, baik untuk diri kita, maupun bagi orang yang kita "bantu" peminjamannya.

5. Oya, untuk mengetahui dengan siapa buku itu sudah terbagi, diharapkan nulis di buku yang sedang dibaca akun twitter kita. Tulis aja di halaman pertama yang agak kosong atau di halaman paling belakang. Atau, seperti buku-buku di perpustakaan, ada satu lembar kosong yang ditempel pada sampul dalam yang menyebutkan nama-nama orang yang pernah meminjam buku tersebut. Dari situ kita tahu dengan siapa kita bisa ngobrolin buku itu.

6. Untuk mengatur lalu-lintas buku, diharapkan pembaca untuk "melaporkan" via akun @EstafetBuku buku yang sedang dibaca, sampai tgl berapa, lokasi pembaca, dan (kalau sudah ada) pembaca berikutnya. Nah, ayo follow dulu @EstafetBuku.

7. Ini nih poin terakhir yang harus rela sedikit berkorban. Kalo ternyata pembaca buku berikutnya yang berminat pada buku yang lagi lo baca tinggal di luar kota/negeri, gimana dong? Nah, teman-teman mau nggak keluar uang untuk bayar ongkos kirimnya? Disepakatinya gimana? Mungkin sebaiknya yang bayar ongkos kirim si pembaca berikutnya? Gimana kalau ngobrol terbuka aja? Misalnya, gw bener-bener lagi kere nih, bahkan untuk keluar duit 15.000 pun gw nggak ada, gimana kalo lo trasfer gw trus gw kirim bukunya?
Itu atas kesepakatan aja gimana? Atau ada usul lain yang menyenangkan bagi kedua belah pihak? Misalnya kalo terlalu mahal ditanggung berdua; atau gw cuma punya ceban nih, kurang 7000 transfer gw dong; atau 'eh ngak apa-apa, cuma 15rb kok, gw aja yang nanggung ongkos kirimnya." Bagaimana teman-teman? Sebagaimana akun @nebengers, kita kan pastinya akan berteman, dan anggaplah sudah berteman karena kesamaan minat: buku; jadi diobrolin terbuka aja :)

Capek gw, lama nggak nulis lebih dari 140 karakter :|

Oya, temen gw si @gustafboy udah bikinin akun twitternya, namanya @EstafetBuku, masih digembok kata dia, ntar kalo udah lumayan request follower nya, akan dibuka gemboknya dan gw/Agus?Rhea akan ngetwit dari akun itu--begitu kata @gustafboy. Tapi, pastikan teman-teman kalo lagi transaksi #EstafetBuku, jangan lupa mention @EstafetBuku plus hashtag #EstafetBuku ya..

Anyway, ide ini pasti nggak sepenuhnyaide baru. Beberapa temen menyebutkan project ini-itu yang serupa. Well, gw sangat nggak gaul di dunia maya, pun bahkan bukan blog-walker atau apapun istilahnya, jadi gw nggak tahu dengan ide-ide macam gini di Indonesia. Gw yakin banyak orang dengan ide serupa dan pasti banyak yang udah lebih mapan dan keren; tapi menurut gw sih malah akan lebih seru jika kita turut meramaikannya. Apa sih yang nggak untuk kegiatan berbagi racun buku?

Silahkan memberi masukan, komentar, kritik atau apa pun, dan akan lebih senang jika dilakukan juga di twitter, mention aja: @uswahabibah. Terimakasih banyak!

Comments

  1. uswah, buruan buka gemboknya. hehe.
    menurut gue udah oke poin-poin yang dijelaskan ini. ketentuan lalu lintas bukunya dibikin per poin tersendiri juga, usw, biar lebih jelas.

    usul, selain data pembaca, mungkin setiap pembaca menyertakan notes di setiap buku yang dibaca. komentar pendek aja, gpp. jadi, kebayangnya, saat buku itu udah banyak yang baca, akan ada komentar-komentar yang bisa diposting untuk judul-judul tertentu--apalagi disertai waktu, lokasi, dsb. jadi, satu buku akan punya keterikatan di antara pembacanya. :D

    ReplyDelete
  2. Wow! usul yang oenjoe..:)) Baiklah, segera dibuka gemboknya, hehe! Thanks Wied, buku Penjual Kenangan itu boleh gw duluan yg baca ga? hehe..

    ReplyDelete
  3. Kak, boleh ikutan?

    Trus saranku bukunya ga harus fiksi, non fiksi ga papa kan?
    Buat referensi proposal skripsi #eh kali aja ada yang punya, daripada beli :)
    @Ci_utha

    ReplyDelete
  4. Keren idenya bro. estafet buku. hehe

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Sebab Hanya Anda yang Tahu Perihal “Hembus Angin Utara”

Judul asli: Gut gegen Nordwind (2006) Judul terjemahan: Hembus Angin Utara (Darbook, 2009) Penulis: Daniel Glattauer Penerjemah: Ahmad Mulyadi Saya jenis manusia konservatif. Jarang chatting kecuali ada janji. Skype dan gtalk nyala kalau ada perlu. Segala fasilitas macam BBM, iMessage, Kakaotalk, line, whatsapp, belum pernah saya sentuh. Meski akrab dengan fasilitas teleconference dan aplikasi Go To Meeting di kantor, saya tidak akan melakukannya jika kolega sama-sama berada di Jakarta. Saya lebih puas bertemu, menatap langsung wajah kawan bicara saya, membaca mimik dan gerak-gerik tubuhnya, meraba-raba senyum palsu dan tawa basa-basinya. Tidak ada yang lebih indah daripada pecah tawa bersama-sama, tidak ada yang bisa menyamai lirikan sarat konspirasi dan senyum penuh arti. Tidak akan ada ekspresi yang bisa terganti dengan hahaha, xoxoxo, ck ck ck ck, xi xi xi xi, hihihi, hohoho, bahkan wkwkwkwkw! Pun emoticon paling rumit yang tersedia di gadget Anda J Jadi, sa

“Saya tidak pernah akur dengan kenangan. Apa yang bisa saya beli darimu?” Tanya saya kepada penjual kenangan

Penjual Kenangan , dan jendela yang menyetia  Saya dan Iwied  telah saling mengenal sejak kami semester satu, itu sekitar 12 tahun lalu. Kami dua tahun satu asrama dan satu fakultas pula, FIB-UI; saya di Sastra Jepang dan Iwied jurusan Sastra Indonesia. Karenanya, sedikit banyak saya mengenalnya secara pribadi, pun tulisan-tulisannya. Saya, Iwied dan Gita —sahabat Iwied, rumah segala kenangan, demikian Iwied menyebutnya di halaman persembahan  Penjual Kenangan —sama-sama suka menulis puisi dan kisah fiksi. Namun dalam perjalanan, saya lebih condong ke (bacaan) non-fiksi, buku referensi, penelitian dan jurnal. Dulu kami bercita-cita, suatu hari kami bertiga akan sama-sama jadi penulis fiksi J   Penjual Kenangan adalah buku Iwied yang pertama kali saya tamatkan. Sebelumnya saya sudah tahu Kucing Melulu dan Cerita Cinta (Me)Lulu , tapi menyerah pada halaman-halaman awal. Ini hanya masalah selera. Dalam buku ini, Penjual Kenangan  menawarkan repih-repih kenangan, pa

A GIRL WITH A HENRI BENDEL TOTE BAG

Saya akan memulai catatan ini dengan sebuah pengakuan: saya bukan shopaholic. Saya akui sebagian besar cewek suka belanja, pun saya, tapi saya belajar untuk lebih menahan diri dan rasional, minimal tidak impulsif. Orangtua saya tidak gemar belanja, dan saya dibesarkan di kota kecil Pati, Jawa Tengah, yang membuat saya tidak terpapar pusat perbelanjaan. Satu-satunya kegiatan  shopping  yang paling menyenangkan bersama keluarga adalah memborong sayur-sayuran di dataran tinggi Kopeng--bagasi penuh sayur dan kegiatan menyenangkan berikutnya adalah mendatangi rumah tetangga satu per satu dan berbagi sayuran segar (saya paling ingat bagian ini, karena tiap kali saya disuruh memberi hantaran ke rumah tetangga, saya harus menghapal dulu kalimat bahasa Jawa halus untuk diucapkan, " Sugeng enjang/siang/sonten. Niki ngaturaken oleh-oleh saking ibu.." ---habis itu kalau ditanya macam-macam pasti jawabannya bahasa Jawa campuran ngoko-kromo + bahasa Indonesia).  Shopping  lain yang t