Apa yang Berada di Bawah Telapak Kaki Ibu Perokok? PUNTUNG!
Iya, cuma puntung. Alih-alih mengharap sorga.
Selama ini gw selalu marah jika ada orang (baca: misogini) yang selalu menganggap perempuan yang merokok itu lebih "hina" daripada laki-laki yang merokok. Gw akan terus menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan perokok sama buruknya. SAMA.
Bahwa perempuan perokok terlihat lebih buruk di mata masyarakat, itu hanya stigma, hasil pemikiran-pemikiran misoginis yang berhasil dicekokkan: bahwa perempuan perokok itu sundal, cwe nggak bener. (Samalah kaya orang-orang yang mikir komunis itu atheis, suka nyiksa dan perempuan-perempuannya cabul) Padahal, banyak perempuan baik di sekitar kita: teman, nenek, tetangga, ibu: perokok; tapi jelas lo akan marah kalo mereka disebut cwe nggak bener. Bahwa mereka membahayakan kesehatan diri dan lingkungan, itu benar, tapi cwe nggak benar: terlalu dangkal untuk membuat kesimpulan cuma karena stereotipe.
Tapi mari kita kesampingkan itu dulu. Gw ingin bicara sebagai sesama perempuan, para ibu, dan insyaAllah gw pun calon ibu.
Gw sering mendapati perempuan-perempuan perokok yang tidak berhenti merokok ketika mereka sedang hamil/menyusui. Dan itu membuat gw sangat marah. Ibu macam apa yang membahayakan janin dan menempatkan calon anaknya dalam atmosfer yang tidak sehat? Cinta macam apa yang sekadar mengenyahkan tembakau digulung kertas demi janinnya aja susah? Betapa, menurut gw, tidak layak ibu macam itu mendapat amanah untuk membesarkan anak. Dan menurut gw, ibu-ibu perokok itu tidak kesulitan akses untuk tahu informasi bahaya rokok untuk janin dan bayi. Cinta macam apa yang lo gadang-gadang untuk anak lo?
Gw pernah ngekos dengan tante-tante perokok, dan anak perempuannya sejak umur 6 th gw dapati juga ikut-ikutan merokok. Awalnya takut-takut, tapi setelah ketahuan pun ibunya nggak marah-marah amat. Yang marah besar ke tante itu justru kami: anak-anak kosnya!
Ibu macam itulah yang menurut gw durhaka pada anaknya, dan tidak ada sorga di bawah telapak kakinya selain puntung.
Bukan. Bukan gw membenarkan anak-anak dengan ibu perokok, atau anak-anak yang dari bayi tumbuh dengan rokok, untuk melawan dan tidak hormat pada ibunya. Kalau kebetulan lo berada dalam posisi itu, tugas lo untuk mengingatkan nyokap lo untuk berhenti. Bagaimanapun, dia tetap layak punya anak keren kaya' lo, yang ngingetin bahaya rokok meski lo sendiri dibesarkan oleh orangtua perokok.
Tapi tulisan ini lebih gw tujukan untuk teman-teman gw sesama perempuan, para calon ibu. Mungkin lo perokok aktif ketika SMA atau zaman kuliah, tapi ketika lo mulai hamil dan pada akhirnya menyusui, tolong pastikan ada sorga di bawah telapak kaki lo, bukan puntung. Anak lo, sampai dewasa pun, berhak udara sehat, terlebih setelah di jalanan ia seharian mempertaruhkan kesehatannya berjibaku dengan asap knalpot bajaj, Kopaja, Metromini, maka ketika ia pulang ke rumah, lo menjadi ibu yang memastikan anak lo menghirup udara yang layak dihirup manusia.
P.S Tulisan ini hasil kemarahan gw ngeliat ibu-ibu hamil dan menyusui tetap ngerokok. Egois dan jauh dari rasa syukur.
Depok, 25 Februari 2013
Iya, cuma puntung. Alih-alih mengharap sorga.
Selama ini gw selalu marah jika ada orang (baca: misogini) yang selalu menganggap perempuan yang merokok itu lebih "hina" daripada laki-laki yang merokok. Gw akan terus menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan perokok sama buruknya. SAMA.
Bahwa perempuan perokok terlihat lebih buruk di mata masyarakat, itu hanya stigma, hasil pemikiran-pemikiran misoginis yang berhasil dicekokkan: bahwa perempuan perokok itu sundal, cwe nggak bener. (Samalah kaya orang-orang yang mikir komunis itu atheis, suka nyiksa dan perempuan-perempuannya cabul) Padahal, banyak perempuan baik di sekitar kita: teman, nenek, tetangga, ibu: perokok; tapi jelas lo akan marah kalo mereka disebut cwe nggak bener. Bahwa mereka membahayakan kesehatan diri dan lingkungan, itu benar, tapi cwe nggak benar: terlalu dangkal untuk membuat kesimpulan cuma karena stereotipe.
Tapi mari kita kesampingkan itu dulu. Gw ingin bicara sebagai sesama perempuan, para ibu, dan insyaAllah gw pun calon ibu.
Gw sering mendapati perempuan-perempuan perokok yang tidak berhenti merokok ketika mereka sedang hamil/menyusui. Dan itu membuat gw sangat marah. Ibu macam apa yang membahayakan janin dan menempatkan calon anaknya dalam atmosfer yang tidak sehat? Cinta macam apa yang sekadar mengenyahkan tembakau digulung kertas demi janinnya aja susah? Betapa, menurut gw, tidak layak ibu macam itu mendapat amanah untuk membesarkan anak. Dan menurut gw, ibu-ibu perokok itu tidak kesulitan akses untuk tahu informasi bahaya rokok untuk janin dan bayi. Cinta macam apa yang lo gadang-gadang untuk anak lo?
Gw pernah ngekos dengan tante-tante perokok, dan anak perempuannya sejak umur 6 th gw dapati juga ikut-ikutan merokok. Awalnya takut-takut, tapi setelah ketahuan pun ibunya nggak marah-marah amat. Yang marah besar ke tante itu justru kami: anak-anak kosnya!
Ibu macam itulah yang menurut gw durhaka pada anaknya, dan tidak ada sorga di bawah telapak kakinya selain puntung.
Bukan. Bukan gw membenarkan anak-anak dengan ibu perokok, atau anak-anak yang dari bayi tumbuh dengan rokok, untuk melawan dan tidak hormat pada ibunya. Kalau kebetulan lo berada dalam posisi itu, tugas lo untuk mengingatkan nyokap lo untuk berhenti. Bagaimanapun, dia tetap layak punya anak keren kaya' lo, yang ngingetin bahaya rokok meski lo sendiri dibesarkan oleh orangtua perokok.
Tapi tulisan ini lebih gw tujukan untuk teman-teman gw sesama perempuan, para calon ibu. Mungkin lo perokok aktif ketika SMA atau zaman kuliah, tapi ketika lo mulai hamil dan pada akhirnya menyusui, tolong pastikan ada sorga di bawah telapak kaki lo, bukan puntung. Anak lo, sampai dewasa pun, berhak udara sehat, terlebih setelah di jalanan ia seharian mempertaruhkan kesehatannya berjibaku dengan asap knalpot bajaj, Kopaja, Metromini, maka ketika ia pulang ke rumah, lo menjadi ibu yang memastikan anak lo menghirup udara yang layak dihirup manusia.
P.S Tulisan ini hasil kemarahan gw ngeliat ibu-ibu hamil dan menyusui tetap ngerokok. Egois dan jauh dari rasa syukur.
Depok, 25 Februari 2013
Comments
Post a Comment