Aku tongkatmu yang kau bawa-bawa tapi tak kau ajak berlari dalam lintasan kita. Tak juga kau berikan ke pelari lain yang menunggu entah di ujung mana. Kau diam menekuri keraguan, bergumul dengan dirimu sendiri dan aku tak juga beranjak meninggalkanmu pergi: aku masih sayang pada pelari yang ragu-ragu, sebab denganmu aku belajar tentang yang pasti.
Kadang kau lempar tongkatmu ini, entah karena marah pada dirimu sendiri entah pada dunia yang sepertinya mengejek pelari yang peragu sepertimu. Dan tongkat kecil ini tergeletak begitu saja, masih di orbitmu, sebab ia tak sanggup meninggalkan pembawa tongkatnya. Kau pungut lagi, kau lempar lagi: dan aku selalu sanggup tersenyum pada marahmu yang pancaroba; aku selalu memaafkanmu sebelum matamu menyiratkan sesal yang menghiba. Pernahkah aku tak mengimbangi larimu?
Kaulah pelariku dengan lintasan terpanjang, karenanya aku sangat mengenalmu: keringatmu, aroma tubuhmu, kesalmu, keraguanmu, gelapmu, terpurukmu, lekuk genggamanmu, palung terdalammu.
Tongkat kecil ini, tak sanggup estafet hati.
Depok, 23 Februari 2013
Kadang kau lempar tongkatmu ini, entah karena marah pada dirimu sendiri entah pada dunia yang sepertinya mengejek pelari yang peragu sepertimu. Dan tongkat kecil ini tergeletak begitu saja, masih di orbitmu, sebab ia tak sanggup meninggalkan pembawa tongkatnya. Kau pungut lagi, kau lempar lagi: dan aku selalu sanggup tersenyum pada marahmu yang pancaroba; aku selalu memaafkanmu sebelum matamu menyiratkan sesal yang menghiba. Pernahkah aku tak mengimbangi larimu?
Kaulah pelariku dengan lintasan terpanjang, karenanya aku sangat mengenalmu: keringatmu, aroma tubuhmu, kesalmu, keraguanmu, gelapmu, terpurukmu, lekuk genggamanmu, palung terdalammu.
Tongkat kecil ini, tak sanggup estafet hati.
Depok, 23 Februari 2013
Comments
Post a Comment