Skip to main content

Jejak Evolusi dalam Segelas Susu*


Pada segelas susu yang terhidang di pagi hari atau menjelang tidur, terkandung sejarah panjang—yang masih berjalan. Tidak hanya riwayat evolusi manusia pemerahnya, evolusi sapi yang menghasilkannya, tetapi juga kisah bagaimana awal mula manusia menjinakkan dan terpikirkan untuk meminum cairan putih yang terpancar dari puting susu sapi itu. Kelak, manusia yang konon kian berperadaban ini menambahkan kasta dalam segelas susu.

Sering kita mendengar kelakar setengah olokan kepada kawan yang langsung diare ketika minum susu. “Perut ndeso,” atau “perut kampungan”, dan untuk mereka yang gemar minum susu juga tak bebas ejekan. Seperti bule, katanya. Seperti apakah perut yang kampungan itu? Dan seperti apa perut atau selera seperti bule?

Mari kita telusuri lorong waktu, bermilenia lalu. Nenek moyang kita nampaknya punya deretan gigi yang kokoh, tentu saja karena mereka tidak mengkonsumsi gula, dan daging sebagai makanan utama membutuhkan gigi yang kuat. Dari mana kita tahu gigi mereka kuat? Terima kasih nenek moyang kita tidak rajin gosok gigi, sehingga para arkeolog memiliki tinggalan jejak yang berharga.

Para arkeolog meneliti gigi nenek moyang manusia pada Zaman Perunggu (3.000 tahun SM) dan menemukan protein susu pada gigi mereka, namanya BLG, alias β-Lactoglobulin. BLG ini sangat meyakinkan karena selain kebal terhadap gempuran bakteri, ia juga hanya ditemukan pada susu hewan, dan tidak pada susu manusia. Bahkan, arkeolog dapat dengan mudah mengidentifikasi apakah itu BLG susu kambing atau BLG kuda.

Lalu, apakah dulu nenek moyang kita begitu melihat kantong susu sapi—namanya belum sapi juga karena belum jinak—langsung nafsu pengen nenen? Nenek moyang kita tentu memperhatikan bahwa anak mamalia berkaki empat menyusu pada induknya. Lantas, mengapa kita tidak cukup menyusu pada induk kita saja, dan berbeda dari anak sapi, kita tetap minum susu hingga dewasa? Mengapa aneh menuangkan susu manusia pada gelas kita, dan justru wajar minum susu dari spesies lain? Lagipula, siapa yang pertama kali punya ide icip-icip susu binatang, rebutan dengan bayi binatang lain yang lebih berhak menguasai susu induknya?

Sungguh, manusia di masa berburu ternyata tak puas mendapatkan binatang hanya untuk dagingnya, tetapi juga untuk susunya.

Menariknya, mamalia dewasa, termasuk manusia, ternyata tidak didesain untuk mencerna susu, terutama bagian gula laktosa susu. Mamalia betina menghasilkan susu hanya untuk anak-anak, dan begitu anak-anak ini tumbuh dewasa, kemampuannya mencerna susu hilang seiring hilangnya enzim laktase. Kita saja yang ngotot minum susu sampai tua. Dan memang sebagian besar manusia dewasa Eropa tetap mampu minum susu tanpa masalah. Di sini evolusi dapat menjelaskan.

Minum susu bukan hal yang mudah dilakukan bagi nenek moyang kita. Ini adalah aktivitas yang berisiko karena dapat menyebabkan kembung, sakit perut, dan diare—hei, bukankah banyak dari kita merasakannya hingga kini? Kemudian nenek moyang kita berinovasi untuk mengurangi kadar laktosanya, dengan memfermentasi atau mengubahnya menjadi keju. Selain lebih aman dikonsumsi, cara ini menjadikan susu dapat disimpan lebih lama. Cocok untuk perjalanan berburu dan kehidupan yang berpindah.

Rupanya tubuh manusia telah berevolusi sehingga dapat mengkonsumsi susu melebihi jatahnya sebagai kanak-kanak. Sebagian dari kita tetap memiliki enzim laktase hingga dewasa. Keberadaan enzim ini pada orang Eropa diperkirakan sudah ada sejak 9.000 tahun lalu. Ini mengisyaratkan bahwa nenek moyang orang Eropa telah melakukan perjuangan panjang yang sulit dan berat untuk dapat menelan susu tanpa masalah. Di Italia saja kemampuan minum susu dengan nyaman tampaknya baru “ditemukan” sekitar 2.000 tahun lalu. Tetapi, mengapa “lactose-intolerant” jamak ditemukan pada orang Asia? Ternyata, itu karena kita tidak punya sejarah sepanjang orang Eropa dalam menjinakkan hewan sapi liar alias auroch, yang kini kita kenal sebagai sapi yang bersahabat dengan manusia. Karena orang Asia tidak punya hubungan pertalian yang panjang dengan nenek moyang sapi si empunya susu, tubuh kita pun tidak mengembangkan kemampuan untuk mencerna susunya. Mungkin ribuan tahun lagi seluruh orang Asia bisa minum susu dengan nyaman?

Lalu, tepatkah menyebut perut orang Asia yang tidak kuat minum susu sebagai kampungan? Saya akan menjawab bahwa di sini ada inferiority complex berperan, yang juga akan merespon pada sebutan “lidah bule”. Keduanya sama-sama mengandung keminderan kaum inferior—yang seringkali tak disadari. Orang Asia hanya tidak melanjutkan kemampuan memecah gula laktosa susu karena enzimnya hilang begitu beranjak dewasa. Orang bule, meskipun faktanya benar bahwa minum susu adalah ‘selera bule’ karena kemampuan mereka dalam mencerna susu, menjadikannya olok-olok bagi orang Asia yang tidak ada masalah minum susu akan sama-sama memasukkan pengoloknya pada keranjang inferioritas.

Minum susu dan tidak minum susu adalah dokumentasi perjalanan evolusi. Olok-olok hanyalah cara merawat keminderan, menjadikannya jalan pintas berhenti belajar dan merangkum kemalasan. Mungkin akan lebih berguna bila persoalan minum susu ini memantik penelitian-penelitian demi kesehatan umat manusia.


Depok, 3 Mei 2020
Uswah
Rajin minum susu pagi-malam

*Catatan setelah membaca buku Tamed: Ten Species that Changed Our World yang ditulis Alice Roberts.








Comments

Popular posts from this blog

Sebab Hanya Anda yang Tahu Perihal “Hembus Angin Utara”

Judul asli: Gut gegen Nordwind (2006) Judul terjemahan: Hembus Angin Utara (Darbook, 2009) Penulis: Daniel Glattauer Penerjemah: Ahmad Mulyadi Saya jenis manusia konservatif. Jarang chatting kecuali ada janji. Skype dan gtalk nyala kalau ada perlu. Segala fasilitas macam BBM, iMessage, Kakaotalk, line, whatsapp, belum pernah saya sentuh. Meski akrab dengan fasilitas teleconference dan aplikasi Go To Meeting di kantor, saya tidak akan melakukannya jika kolega sama-sama berada di Jakarta. Saya lebih puas bertemu, menatap langsung wajah kawan bicara saya, membaca mimik dan gerak-gerik tubuhnya, meraba-raba senyum palsu dan tawa basa-basinya. Tidak ada yang lebih indah daripada pecah tawa bersama-sama, tidak ada yang bisa menyamai lirikan sarat konspirasi dan senyum penuh arti. Tidak akan ada ekspresi yang bisa terganti dengan hahaha, xoxoxo, ck ck ck ck, xi xi xi xi, hihihi, hohoho, bahkan wkwkwkwkw! Pun emoticon paling rumit yang tersedia di gadget Anda J Jadi, sa

A GIRL WITH A HENRI BENDEL TOTE BAG

Saya akan memulai catatan ini dengan sebuah pengakuan: saya bukan shopaholic. Saya akui sebagian besar cewek suka belanja, pun saya, tapi saya belajar untuk lebih menahan diri dan rasional, minimal tidak impulsif. Orangtua saya tidak gemar belanja, dan saya dibesarkan di kota kecil Pati, Jawa Tengah, yang membuat saya tidak terpapar pusat perbelanjaan. Satu-satunya kegiatan  shopping  yang paling menyenangkan bersama keluarga adalah memborong sayur-sayuran di dataran tinggi Kopeng--bagasi penuh sayur dan kegiatan menyenangkan berikutnya adalah mendatangi rumah tetangga satu per satu dan berbagi sayuran segar (saya paling ingat bagian ini, karena tiap kali saya disuruh memberi hantaran ke rumah tetangga, saya harus menghapal dulu kalimat bahasa Jawa halus untuk diucapkan, " Sugeng enjang/siang/sonten. Niki ngaturaken oleh-oleh saking ibu.." ---habis itu kalau ditanya macam-macam pasti jawabannya bahasa Jawa campuran ngoko-kromo + bahasa Indonesia).  Shopping  lain yang t

#EstafetBuku: Mari Berbagi Racun dalam Buku

Awalnya gw abis baca novel "Pulang" karya wartawan Tempo: Leila S. Chudori yang selama membaca dan khatamnya, bikin mood gw berantakan, menimbulkan sensasi berbagai rasa. Mungkin karena gw memang suka baca tentang "sisi hitam Indonesia", mungkin juga karena gw pernah dekat dengan seorang tapol Buru yang disiksa dengan ekor ikan pari; mungkin juga karena gw pernah sangat kesal dengan Taufik Ismail yang "merusak" peluncuran buku tapol Buru tersebut. Terlalu menyederhanakan masalah jika lo nyebut "komunis itu atheis dan membantai banyak orang di Indochina, bla bla bla.. Kalian anak muda nggak usah gampang terpesona dengan pemikiran-pemikiran kiri." Gw terhina sebagai anak muda, yang duduk sebagai pembicara dalam sebuah bedah buku di UIN Jakarta itu. Jadi, setelah baca "Pulang", gw nggak mau "tersiksa" sendirian. Gw ngerasa bahwa semua orang generasi gw dan generasi di bawah gw harus banget baca novel itu. Gw udah lama banget ga