Seharusnya saya bercerita tentang Rumphius,
ilmuwan terhormat kelahiran Jerman yang mengabdi untuk VOC Belanda, tetapi
menghabiskan hampir setengah abad hidupnya bekerja di Ambon hingga akhir
hayat. Namun, lain kali saja kita bahas ahli botani buta yang tak putus
dirundung malang itu. Sekarang saya lebih tertarik dengan keadaan di masa muda
Rumphius di abad ke-17, yang ternyata bukan tempat yang menyenangkan untuk
menjalani hidup. Dan justru itulah tuas pengungkit yang begitu kuat melemparkan
Rumphius ke—mengutip frase di masa itu yang berarti “minggat meninggalkan rumah”—suatu
tempat di mana lada tumbuh: Hindia.
Pada 1669, dengan dorongan untuk mencatat kekejaman Perang Tiga Puluh Tahun (1618-1648) di wilayah yang kini merupakan negara Jerman, Hans Jakob Christoffel von Grimmelshausen (?1622-1676) menuliskan Der Abentheurliche Simplicissimus Teutsch. Kelak, novel tersebut dianggap sebagai karya sastra terbaik Jerman di abad ke-17. Isinya berpusar pada tokoh Simplicius dengan segala pandangannya terhadap perang dan agama—yang diklaim sebagai pemantik bara perang.
Saya belum pernah membaca novel itu, jadi tidak dapat bercerita banyak. Namun, beruntung EM Beekman dalam catatan Pendahuluan untuk terjemahan bahasa Inggris D'Amboinsche raritetkamer (The Ambonese Curiosity Cabinet) mengutip novel tersebut untuk memberi latar kehidupan yang memengaruhi jiwa muda Rumphius, si Plinius dari Hindia. Kutipan dalam Simplicissimus mengingatkan saya pada buku yang sudah pernah saya catat sebelumnya, yaitu Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir, di bagian tukang sihirnya.
Peperangan selama puluhan tahun di Jerman telah memakan banyak korban, terutama rakyat kecil. Kepercayaan pada agama perlahan musnah, para bangsawan terang-terangan begitu mudah berpindah agama demi takhta, warisan, perkawinan politik, atau wilayah kekuasaan. Grimmelshausen menumpahkan kemuakannya pada aristrokasi dalam sebuah alegori. Ia menggambarkan betapa pohon kemasyarakatan dapat berdiri kokoh karena akar-akarnya ditopang dan dirawat oleh rakyat miskin, petani, tukang, dan pengrajin. Di pucuk pohon, duduk bertelekan kaum ningrat dan bangsawan, sementara di bawahnya para jelata yang “bagaimana pun memberikan pohon itu kekuatan dan memperbarui daya hidupnya ketika mulai terkuras... . Dan mereka harus bertahan begitu rupa karena banyak yang menduduki pohon itu, dan untuk alasan yang masuk akal, karena keseluruhan berat pohon dibebankan kepada mereka dan menekan sedemikian keras sehingga uang mereka terperas keluar dari kantong, bahkan dari peti-peti kokoh yang sudah mereka kunci dengan tujuh gembok. Dan jika tidak ada lagi uang yang keluar, beberapa komisaris akan mengerok mereka, memerintahkan serangan militer, yang akan menguras ratapan dari hati mereka, air mata dari mata mereka, darah dari bawah kuku mereka, dan sumsum dari tulang mereka.”
Di kutipan inilah saya justru teringat bagaimana Eropa gencar membasmi praktik bidah dan para sekutu iblis. Antara abad ke-15 dan ke-17, diperkirakan 500 ribu orang dituduh sebagai tukang sihir dan dibakar hidup-hidup di Eropa. Gereja Katolik menginisiasi perburuan sistematis ini dengan membentuk pasukan paramiliter khusus pembasmi kesesatan yang disebut Inkuisisi, dengan restu dari Paus untuk melakukan siksaan terhadap para pelaku bid'ah dan penganut sekte sesat, yang tentu di dalamnya adalah para tukang sihir.
Setengah alaf sebelumnya, Gereja Katolik bersikeras bahwa tukang sihir tidak ada. Justru terlarang untuk mempercayai bahwa seseorang dapat terbang dengan sapu terbang untuk menghadiri pertemuan-pertemuan rahasia. Pada tahun 1000 M, Gereja menyatakan bahwa tukang sihir terbang hanyalah ilusi yang diciptakan iblis. Lima ratus tahun kemudian, Gereja menyatakan bahwa mereka yang menganggap tukang sihir terbang hanyalah ilusi adalah sekutu iblis. Oke, dibalik doang aturannya.
Menuju pertengahan milenium, bahkan sejak abad ke-11, kehidupan kian berat bagi rakyat. Monarki-monarki lokal, perpecahan antarwangsa, bangsawan-bangsawan feodal, mengubah banyak hubungan yang semula pengikut dan penghambaan dengan perlindungan patron, menjadi hubungan penyewa dan buruh tani—tetapi para bangsawan tetap memperlakukan mereka sebagai hamba. Rakyat kehilangan tanah dan mulai terjadi arus urbanisasi. Hidup menjadi kian kompetitif dan mencekik, dalam kesenjangan ekonomi yang kian lebar. Ayah Rumphius, yang mengabdi pada seorang keluarga ningrat sebagai insinyur ahli perbentengan dan mengajar anak-anak bangsawan, ternyata tidak diupah, baik dengan uang tunai maupun barang. Jadi, di masa ini semua bagian enaknya diambil oleh bangsawan: memberlakukan kontrak kerja profesional secara resmi, tetapi tidak mau membayar karena masih menganggap pekerja sebagai hamba yang harusnya melayani. Dalam sepucuk surat kepada tuannya, ayah Rumphius memohon untuk meminta upahnya supaya dapat membeli rumah kecil untuk keluarganya di tempat yang agak jauh, jaraknya sehari menunggang kuda.
Dapat dibayangkan betapa lebar kesenjangan ekonomi dan sosial di masa itu. Gereja dan bangsawan bergelimang kemewahan, rakyat kian tercekik dalam wabah penyakit dan kelaparan. Dalam keadaan seperti ini, pelarian wajar dalam kesesakan hidup tentu kehadiran mesias sang juru selamat, yang akan membalik keadaan dan menghukum mereka yang berlaku penuh kezaliman. Bagaimana Gereja menemukan solusi dengan mendaftarkan kaum miskin pembuat onar dalam pasukan Perang Salib—yang lantas berbalik menjadi revolusi melawan bangsawan dan agamawan—adalah hal lain yang tidak terlalu saya pahami untuk saya ceritakan kembali. Tapi kelindan perlawanan kaum miskin dengan penguasa adalah riwayat abadi hingga kini. Penguasa selalu menemukan cara untuk membasmi apa yang mereka sebut sebagai pembuat onar dengan berbagai cap dan sebutan, memberangus dan mencabut akar rumput yang juga selalu menemukan celah untuk tumbuh di sela-sela gedung megah dan bangunan mentereng para pemilik modal.
Menyerukan jihad perburuan terhadap tukang sihir adalah salah satu cara untuk meredam kaum miskin yang berpotensi menggalang kekuatan revolusi melawan bangsawan dan agamawan. Meski bertolak belakang dengan ketetapan Gereja pada tahun 1000 M, Gereja memerlukan solusi yang terdengar injili untuk mencari kambing hitam atas ketidakbecusan melayani umat. Perburuan besar-besaran terhadap tukang sihir yang dianggap bersekutu dengan iblis sudah lebih dari cukup untuk memusatkan pikiran rakyat pada aksi teatrikal ini, menjadikannya hiburan sekaligus pelampiasan kemarahan atas kekalahan hidup—dan angan-angan semu bahwa sesudah seorang tukang sihir dibakar, kehidupan akan berangsur membaik, karena hilang sudah sekutu iblis yang mencuri simpanan gandum di lumbung, yang menggagalkan panen musim itu, atau yang menghembuskan wabah jahat ke desa-desa, merenggut nyawa bayi dan anak-anak mereka.
Saling curiga antartetangga juga sangat efektif untuk mencegah rakyat miskin sempat memikirkan pemberontakan, alih-alih memobilisasi massa melawan penguasa karena mereka sendiri sudah terpecah-belah. Gereja dan bangsawan yang memfasilitasi perburuan tukang sihir ini tidak hanya menemukan solusi murah, praktis, dan suci, tetapi juga gemilang menampilkan diri sebagai lembaga yang kehadirannya penting serta dibutuhkan masyarakat—yang terlanjur termakan tipu daya bahwa segala kesulitan hidup mereka adalah akibat ulah tukang sihir.
Mata Rumphius muda masih cukup jernih untuk melihat bahwa penguasa yang lalim dan gereja yang munafik adalah pangkal segala petaka di Eropa. Rumphius sadar dirinya belum terlambat untuk memahat masa depan dan mengabdi pada ilmu pengetahuan. Meminjam sapu terbang yang melayang-layang bebas di langit Eropa pada abad ke-17, Rumphius pun akhirnya menemukan cara untuk terbang ke sebalik bumi, ke tempat lada tumbuh: Hindia.
Rumphius di Tropenmuseum, Amsterdam. Saya berkesempatan mengunjunginya pada 3 Oktober 2018 dengan undangan dari KNAW (Akademi Ilmu Pengetahuan Kerajaan Belanda). |
Comments
Post a Comment