"Alasan lain mengapa banyak adat dan pranata tampak misterius adalah karena kita telah diajari untuk menjunjung tinggi penjelasan "spiritual" yang rumit atas fenomena kebudayaan, alih-alih penjelasan yang membumi [yang] terbangun dari soal perut, seks, energi, angin, hujan, dan fenomena lain yang biasa dan teraba." -- Marvin Harris, dalam pembatas buku Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir. Menjawab Teka-Teki Kebudayaan. Baru kali ini saya mendapati satu kalimat yang dikutip pada pembatas buku meringkas isi seluruh buku.
Pramoedya pernah menulis, "Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya."
Sungguh saya setuju, baik dengan antropolog Marvin Harris maupun dengan Pram. Sering kita mendengar konflik antarkampung dan antarnegara, berbalut perang ideologi, agama, atau harga diri suatu bangsa, setelah ditelisik ternyata hanya rebutan sumber daya alam, rebutan pasar, dan di level kampung, biasanya urusan asmara saja.
Saya menyebut buku ini semacam pengantar, sebuah karya seminal yang memantik studi-studi lain yang lebih mendalam dan tiada habisnya: selama manusia masih gemar memasang tafsir yang ndakik-ndakik untuk perihal yang sangat banal, maka antropologi tak akan mati.
Sebelum saya melanjutkan tulisan, saya perlu membuat maklumat tentang apa yang saya yakini, setidaknya saat ini: tidak ada yang sakral dan tabu bagi saya, saya manusia dengan daging dan darah.
Jadi, ketika membahas betapa sapi begitu suci di India (dan di Bali serta di Kudus), maka yang bisa saya lakukan adalah menghormati pilihan itu. Dalam kasus di Kudus wujudnya menjadi ekspresi keagamaan dan tradisi yang indah. Soto Kudus tidak menggunakan daging sapi, tetapi daging kerbau. Konon, sunan penyebar agama Islam di Kudus menghormati agama sebelumnya, yaitu Hindu, yang menyakralkan sapi. Maka, jadilah soto Kudus menggunakan daging kerbau. Kini, kita melihatnya sebagai kuliner yang unik, dan dengan latar belakang toleransi, jadinya semangkuk soto yang elok.
Dengan kacamata Barat modern, tentu tak masuk akal melihat orang India yang sangat miskin sekalipun, pantang menyembelih sapi mereka demi perbaikan gizi. Kesucian sapi di India tak dapat dinalar dengan hitungan kalori dan produksi. Padahal, jika mau mengenyahkan sedikit kemalasan menerima "sucinya sapi India", mempertahankan sapi telah melalui perhitungan ekonomi yang sangat cermat bagi keluarga-keluarga India. Bagi petani miskin, tanpa sapi pembajak sawah sama saja bunuh diri. Kotorannya pun sangat pas dengan proses memasak makanan-makanan India yang memerlukan waktu lama--jangan bayangkan mereka menggunakan tabung gas, kayu bakar pun bisa jadi tak terbeli. Sapi, hingga matinya pun, masih memberi keuntungan bagi keluarga yang ditinggalkan ketika kulitnya disamak. Di sini, saya memahami bahwa kesakralan sapi di India justru wajib dipertahankan karena itu relevan dengan kebutuhan masyarakat (miskin) di sana.
Dari kandang sapi, mari beralih ke kandang babi.
Mengapa Yahweh dan Allah segitu repot-repot mengharamkan babi, binatang lucu yang tak berbahaya ini? Dan seringkali Muslim sangat mematuhinya. Bahkan banyak lelucon beredar, Muslim bisa jadi melanggar perintah-perintah Tuhan yang lain, tapi akan sangat teguh untuk tidak menyentuh babi.
Semua alasan pelarangan terhadap babi bisa dibantah. Sapi mengandung cacing pita? Iya, bila tidak dimasak dengan baik. Jangan lupa, hampir semua binatang bisa menjadi vektor penyakit, memindahkan virus dari hewan-manusia. Dan selama kita berinteraksi dekat dengan hewan--baik ternak maupun liar, yang semakin meningkat dengan pembukaan hutan--maka risiko penyakit zoologis akan kian bertambah. Babi kotor dan najis karena berkubang dengan air kencing dan kotorannya. Iya, di area yang sangat panas dan minim air, dalam hal ini acuannya di daerah Timur Tengah. Makin panas suatu wilayah, makin kotor si babi, karena ia membutuhkan pelembab untuk menyejukkan tubuhnya. Babi nggak berkeringat lho, beda dengan kita. Babi dewasa juga tidak akan bertahan hidup bila terkena matahari terik di atas 37 derajat Celcius, dan memeliharanya juga tidak semudah memelihara sapi atau domba. Bagi masyarakat nomaden Israel, babi merepotkan, sulit beradaptasi, tidak setangguh sapi dan domba, makanannya pun tidak bisa hanya mengandalkan rerumputan. Bagi masyarakat semi-menetap, babi merupakan saingan dalam mendapatkan makanan. Apalagi, babi tidak bisa dimanfaatkan susunya. Babi, singkat kata, merepotkan.
Namun, daging babi adalah godaan luar biasa: lembut, berlemak, dan lezat. Karena secara ekologis dan hitungan ekonomi sangat merugikan penduduk Israel, maka daripada melakukan pelarangan setengah-setengah yang lebih sulit dikontrol, maka pelarangan total akan lebih gampang. Melanjutkan tradisi Yahudi, Al Quran pun mengutuk babi. Menurut Harris, alasannya sih karena mengancam ekosistem alami Timur Tengah.
Betapa merepotkannya babi bisa dilihat pada masyarakat-masyarakat lain pecinta babi. Kelompok-kelompok ini memilih "mencintai, walaupun...". Suku Maring di Papua Nugini adalah salah satunya. Babi begitu merepotkan (perempuan). Semakin banyak babi dipelihara, maka semakin jauh pula para perempuan mencari pakan, yaitu umbi-umbian, yang juga makanannya sendiri. Perempuan seringkali merelakan jatah makan malamnya untuk babi yang lapar. Tapi jumlah babi yang banyak menunjukkan kekuatan militer suatu suku, mengisyaratkan para lelaki di suku tersebut cukup kalori dan energi sehingga kuat memenangkan pertempuran.
Di bagian tentang suku Maring ini terdapat suatu bagian yang menarik tentang proporsi jumlah (anak) perempuan dan laki-laki. Mengapa laki-laki diistimewakan padahal nggak ada gunanya. "Sejauh menyangkut makanan, lelaki Maring tak ubahnya babi: mereka mengonsumsi lebih banyak daripada yang mereka produksi. Kaum perempuan dan anak-anak akan bisa makan lebih baik bila mereka berfokus membesarkan babi daripada lelaki," demikian kata Harris.
Dibanding Yahweh dan Allah, leluhur suku Maring lebih mau repot dalam hal mengelola populasi babi. Ketika populasi babi sudah berada pada angka yang mengancam pangan manusia dan merusak kebun-kebun, maka itulah saat yang tepat bagi suku-suku yang berseteru untuk saling melancarkan serangan, menculik babi-babi musuh sebanyak mungkin dan dimakan bersama-sama dalam satu pesta. Ketika populasi babi rendah, mereka memulai gencatan senjata, berpindah tempat untuk membuka kebun baru karena kebun lama dikuasai musuh, dan memulai beternak babi kembali. Para leluhur suku-suku di Pegunungan Bismarck ini lebih tahu cara menjaga supaya "yang enak-enak tidak kelewat banyak" tanpa harus mengharamkan.
Banyak kisah menarik dalam buku ini yang, meminjam frasa netizen: mind-blowing. Ada suku yang para perempuannya merasa disayang jika penuh luka dari suaminya--sounds familiar? Ada suku yang gemar melakukan potlatch, yaitu membakar harta bendanya di hadapan para tamu suku-suku lain demi unjuk kekuatan, atau suku-suku terpencil yang mengharap kargo dari langit dan rela masuk dalam persekutuan-persekutuan gereja untuk pada akhirnya menyadari bahwa kargo itu tak pernah ada.
Yang juga menarik secara pribadi bagi saya adalah cerita perburuan tukang sihir. Saya suka sekali membaca cerita perburuan penyihir Salem di abad ke-17 di New England. Di buku ini, yang diceritakan lebih ke belakang lagi, yaitu perburuan ribuan tukang sihir di Eropa pada abad ke-15 hingga ke-17. Gereja-gereja sangat ambisius menghabisi para perempuan yang dituduh penyihir, bahkan membentuk satu tim khusus. Hasil utamanya mudah terlihat. Alih-alih kecewa dan protes terhadap kerajaan dan gereja atas ketidakadilan sosial, kegagalan panen, pajak yang mencekik, bayi-bayi yang mati di musim panas, ada penyihir yang bisa disalahkan, lalu dibakar, untuk menyalurkan kemarahan.
Gereja dan kerajaan menggeser tanggung jawab krisis masyarakat pada akhir Abad Pertengahan itu dengan menciptakan setan-setan khayali. Rakyat yang frustrasi dengan kemiskinan pun lantas menyalahkan iblis dan penyihir, bukan bangsawan dan agamawan yang tamak. Kerajaan dan gereja pun lolos dari tanggung jawab, bahkan posisinya kian penting dalam masyarakat--untuk memburu tukang sihir. Ini adalah cara yang murah dan mudah untuk memecah-belah dan meredam energi protes rakyat terhadap kegagalan penguasa. Rakyat yang saling mencurigai tetangga tentu tak sempat terpikirkan memobilisasi massa menyalurkan protes pada negara dan gereja.
Depok, 14 Juni 2020
Bacaan lebih lanjut:
1. Pigs, Philistine, and the Ancient Animal Economy...
2. Cows, Pigs, Wars, and Witches
Pramoedya pernah menulis, "Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya."
Sungguh saya setuju, baik dengan antropolog Marvin Harris maupun dengan Pram. Sering kita mendengar konflik antarkampung dan antarnegara, berbalut perang ideologi, agama, atau harga diri suatu bangsa, setelah ditelisik ternyata hanya rebutan sumber daya alam, rebutan pasar, dan di level kampung, biasanya urusan asmara saja.
Saya menyebut buku ini semacam pengantar, sebuah karya seminal yang memantik studi-studi lain yang lebih mendalam dan tiada habisnya: selama manusia masih gemar memasang tafsir yang ndakik-ndakik untuk perihal yang sangat banal, maka antropologi tak akan mati.
Sebelum saya melanjutkan tulisan, saya perlu membuat maklumat tentang apa yang saya yakini, setidaknya saat ini: tidak ada yang sakral dan tabu bagi saya, saya manusia dengan daging dan darah.
Jadi, ketika membahas betapa sapi begitu suci di India (dan di Bali serta di Kudus), maka yang bisa saya lakukan adalah menghormati pilihan itu. Dalam kasus di Kudus wujudnya menjadi ekspresi keagamaan dan tradisi yang indah. Soto Kudus tidak menggunakan daging sapi, tetapi daging kerbau. Konon, sunan penyebar agama Islam di Kudus menghormati agama sebelumnya, yaitu Hindu, yang menyakralkan sapi. Maka, jadilah soto Kudus menggunakan daging kerbau. Kini, kita melihatnya sebagai kuliner yang unik, dan dengan latar belakang toleransi, jadinya semangkuk soto yang elok.
Dengan kacamata Barat modern, tentu tak masuk akal melihat orang India yang sangat miskin sekalipun, pantang menyembelih sapi mereka demi perbaikan gizi. Kesucian sapi di India tak dapat dinalar dengan hitungan kalori dan produksi. Padahal, jika mau mengenyahkan sedikit kemalasan menerima "sucinya sapi India", mempertahankan sapi telah melalui perhitungan ekonomi yang sangat cermat bagi keluarga-keluarga India. Bagi petani miskin, tanpa sapi pembajak sawah sama saja bunuh diri. Kotorannya pun sangat pas dengan proses memasak makanan-makanan India yang memerlukan waktu lama--jangan bayangkan mereka menggunakan tabung gas, kayu bakar pun bisa jadi tak terbeli. Sapi, hingga matinya pun, masih memberi keuntungan bagi keluarga yang ditinggalkan ketika kulitnya disamak. Di sini, saya memahami bahwa kesakralan sapi di India justru wajib dipertahankan karena itu relevan dengan kebutuhan masyarakat (miskin) di sana.
Dari kandang sapi, mari beralih ke kandang babi.
Mengapa Yahweh dan Allah segitu repot-repot mengharamkan babi, binatang lucu yang tak berbahaya ini? Dan seringkali Muslim sangat mematuhinya. Bahkan banyak lelucon beredar, Muslim bisa jadi melanggar perintah-perintah Tuhan yang lain, tapi akan sangat teguh untuk tidak menyentuh babi.
Semua alasan pelarangan terhadap babi bisa dibantah. Sapi mengandung cacing pita? Iya, bila tidak dimasak dengan baik. Jangan lupa, hampir semua binatang bisa menjadi vektor penyakit, memindahkan virus dari hewan-manusia. Dan selama kita berinteraksi dekat dengan hewan--baik ternak maupun liar, yang semakin meningkat dengan pembukaan hutan--maka risiko penyakit zoologis akan kian bertambah. Babi kotor dan najis karena berkubang dengan air kencing dan kotorannya. Iya, di area yang sangat panas dan minim air, dalam hal ini acuannya di daerah Timur Tengah. Makin panas suatu wilayah, makin kotor si babi, karena ia membutuhkan pelembab untuk menyejukkan tubuhnya. Babi nggak berkeringat lho, beda dengan kita. Babi dewasa juga tidak akan bertahan hidup bila terkena matahari terik di atas 37 derajat Celcius, dan memeliharanya juga tidak semudah memelihara sapi atau domba. Bagi masyarakat nomaden Israel, babi merepotkan, sulit beradaptasi, tidak setangguh sapi dan domba, makanannya pun tidak bisa hanya mengandalkan rerumputan. Bagi masyarakat semi-menetap, babi merupakan saingan dalam mendapatkan makanan. Apalagi, babi tidak bisa dimanfaatkan susunya. Babi, singkat kata, merepotkan.
Namun, daging babi adalah godaan luar biasa: lembut, berlemak, dan lezat. Karena secara ekologis dan hitungan ekonomi sangat merugikan penduduk Israel, maka daripada melakukan pelarangan setengah-setengah yang lebih sulit dikontrol, maka pelarangan total akan lebih gampang. Melanjutkan tradisi Yahudi, Al Quran pun mengutuk babi. Menurut Harris, alasannya sih karena mengancam ekosistem alami Timur Tengah.
Betapa merepotkannya babi bisa dilihat pada masyarakat-masyarakat lain pecinta babi. Kelompok-kelompok ini memilih "mencintai, walaupun...". Suku Maring di Papua Nugini adalah salah satunya. Babi begitu merepotkan (perempuan). Semakin banyak babi dipelihara, maka semakin jauh pula para perempuan mencari pakan, yaitu umbi-umbian, yang juga makanannya sendiri. Perempuan seringkali merelakan jatah makan malamnya untuk babi yang lapar. Tapi jumlah babi yang banyak menunjukkan kekuatan militer suatu suku, mengisyaratkan para lelaki di suku tersebut cukup kalori dan energi sehingga kuat memenangkan pertempuran.
Di bagian tentang suku Maring ini terdapat suatu bagian yang menarik tentang proporsi jumlah (anak) perempuan dan laki-laki. Mengapa laki-laki diistimewakan padahal nggak ada gunanya. "Sejauh menyangkut makanan, lelaki Maring tak ubahnya babi: mereka mengonsumsi lebih banyak daripada yang mereka produksi. Kaum perempuan dan anak-anak akan bisa makan lebih baik bila mereka berfokus membesarkan babi daripada lelaki," demikian kata Harris.
Dibanding Yahweh dan Allah, leluhur suku Maring lebih mau repot dalam hal mengelola populasi babi. Ketika populasi babi sudah berada pada angka yang mengancam pangan manusia dan merusak kebun-kebun, maka itulah saat yang tepat bagi suku-suku yang berseteru untuk saling melancarkan serangan, menculik babi-babi musuh sebanyak mungkin dan dimakan bersama-sama dalam satu pesta. Ketika populasi babi rendah, mereka memulai gencatan senjata, berpindah tempat untuk membuka kebun baru karena kebun lama dikuasai musuh, dan memulai beternak babi kembali. Para leluhur suku-suku di Pegunungan Bismarck ini lebih tahu cara menjaga supaya "yang enak-enak tidak kelewat banyak" tanpa harus mengharamkan.
Banyak kisah menarik dalam buku ini yang, meminjam frasa netizen: mind-blowing. Ada suku yang para perempuannya merasa disayang jika penuh luka dari suaminya--sounds familiar? Ada suku yang gemar melakukan potlatch, yaitu membakar harta bendanya di hadapan para tamu suku-suku lain demi unjuk kekuatan, atau suku-suku terpencil yang mengharap kargo dari langit dan rela masuk dalam persekutuan-persekutuan gereja untuk pada akhirnya menyadari bahwa kargo itu tak pernah ada.
Yang juga menarik secara pribadi bagi saya adalah cerita perburuan tukang sihir. Saya suka sekali membaca cerita perburuan penyihir Salem di abad ke-17 di New England. Di buku ini, yang diceritakan lebih ke belakang lagi, yaitu perburuan ribuan tukang sihir di Eropa pada abad ke-15 hingga ke-17. Gereja-gereja sangat ambisius menghabisi para perempuan yang dituduh penyihir, bahkan membentuk satu tim khusus. Hasil utamanya mudah terlihat. Alih-alih kecewa dan protes terhadap kerajaan dan gereja atas ketidakadilan sosial, kegagalan panen, pajak yang mencekik, bayi-bayi yang mati di musim panas, ada penyihir yang bisa disalahkan, lalu dibakar, untuk menyalurkan kemarahan.
Gereja dan kerajaan menggeser tanggung jawab krisis masyarakat pada akhir Abad Pertengahan itu dengan menciptakan setan-setan khayali. Rakyat yang frustrasi dengan kemiskinan pun lantas menyalahkan iblis dan penyihir, bukan bangsawan dan agamawan yang tamak. Kerajaan dan gereja pun lolos dari tanggung jawab, bahkan posisinya kian penting dalam masyarakat--untuk memburu tukang sihir. Ini adalah cara yang murah dan mudah untuk memecah-belah dan meredam energi protes rakyat terhadap kegagalan penguasa. Rakyat yang saling mencurigai tetangga tentu tak sempat terpikirkan memobilisasi massa menyalurkan protes pada negara dan gereja.
Depok, 14 Juni 2020
Bacaan lebih lanjut:
1. Pigs, Philistine, and the Ancient Animal Economy...
2. Cows, Pigs, Wars, and Witches
Comments
Post a Comment