Skip to main content

Posts

Showing posts from December, 2012

A GIRL WITH A HENRI BENDEL TOTE BAG

Saya akan memulai catatan ini dengan sebuah pengakuan: saya bukan shopaholic. Saya akui sebagian besar cewek suka belanja, pun saya, tapi saya belajar untuk lebih menahan diri dan rasional, minimal tidak impulsif. Orangtua saya tidak gemar belanja, dan saya dibesarkan di kota kecil Pati, Jawa Tengah, yang membuat saya tidak terpapar pusat perbelanjaan. Satu-satunya kegiatan  shopping  yang paling menyenangkan bersama keluarga adalah memborong sayur-sayuran di dataran tinggi Kopeng--bagasi penuh sayur dan kegiatan menyenangkan berikutnya adalah mendatangi rumah tetangga satu per satu dan berbagi sayuran segar (saya paling ingat bagian ini, karena tiap kali saya disuruh memberi hantaran ke rumah tetangga, saya harus menghapal dulu kalimat bahasa Jawa halus untuk diucapkan, " Sugeng enjang/siang/sonten. Niki ngaturaken oleh-oleh saking ibu.." ---habis itu kalau ditanya macam-macam pasti jawabannya bahasa Jawa campuran ngoko-kromo + bahasa Indonesia).  Shopping  lain yang t

BARU SAJA AKU BERCAKAP-CAKAP DENGAN MAGHRIB

Kudengar langkah kaki. Cara dia menyeret kaki sudah terlampau akrab di kupingku. Maghrib mengetuk pintu linimasaku yang memang kubiarkan terbuka. "Sibuk, kau?" tanyanya sambil mendaratkan pantatnya di lantai, tak ditunggunya jawabanku. Aku diam saja. Sering sekali kudengar ia bertanya begitu. Sampai bosan. "Kau bertemu Subuh tadi pagi?" tanyanya lagi. Aku menatapnya sejenak, lalu mataku kembali ke layar sembari menggeleng. "Subuh senang sekali kalau kau datang. Tak setiap hari memang, tapi katanya kau yang paling dia nantikan?" "Subuh? Paling menantikanku?" tanyaku sembari mengangkat sebelah alis. Maghrib mengangguk, membuat anak rambutnya jatuh di pelipis.  "Aku selalu menemuinya setengah terpaksa, dan entahlah, menurutku ia terlalu pagi datang. Jadi seringkali aku masih mengantuk. Ya, begitulah.." jawabku. Maghrib tersenyum. Aku tahu dia selalu tampan, tanpa senyum sekalipun. Konon banyak penyair dan pelukis jatu

AKU MENYERAH, SAYANG!

Aku menyerah, Sayang Pernah dengar aku sesumbar, bahwa aku baik-baik saja setelah kutempuh jarak separuh bumi sendiri saja? Iya itu benar. Aku baik-baik saja. Tapi sepekan kemudian, jika kau terbang ke sini, akan kau dapati anak perawan tersedu-sedan. Bukan, bukan mengharap pulang rindu rumah rindu sambal belacan. Tangisnya lebih karena ia marah pada jarak yang membentang, ternyata tak cukup menjadi alasan untuk tak lagi rapal-rapal namamu dalam doa-doa malam. Aku menyerah, Sayang. Hati yang kau curi tak pernah kembali; tak jua kuminta lagi. Dupont Circle, DC, 18 November 2012, 2.43pm

TERIMAKASIH

Jika  suatu hari aku bertemu orang baru dan ia memuji kemandirianku, maka diam-diam aku berterimakasih atas kehadiranmu. Jika suatu hari aku bertemu orang baru dan ia kagum pada kesabaranku, maka diam-diam aku berterimakasih pernah dipertemukan denganmu. Kau selalu mengeluh aku manja maka aku belajar untuk tidak. Di jalan yang macet dan gerah, aku begitu pemarah, mudah memaki pada pengendara lain; dan setiap kali kebiasaan buruk itu terjadi, aku menyesal dan berusaha lebih santun, sepertimu. Katamu aku tak pernah mendengar orang lain, ceritamu sekalipun. Sekarang aku lebih berusaha mendengar daripada bicara; dan cerita orang lain sama pentingnya dengan ceritaku. Aku terlahir angkuh dan tak biasa mengalah. Darimu aku belajar rendah hati dan tak selalu memandang segala sesuatu sebagai kompetisi, apalagi kalah dan menang. Katamu aku terlalu mengandalkan logika dan jarang menuruti kata hati. Itu benar dan itu tak akan berubah. Tapi kau tahu: untukmu aku kehilangan