Skip to main content

Posts

Showing posts from 2020

Rumphius, Tukang Sihir, dan Sapu Terbang yang Membawanya ke Negeri Tempat Lada Tumbuh

Seharusnya saya bercerita tentang Rumphius , ilmuwan terhormat kelahiran Jerman yang mengabdi untuk VOC Belanda, tetapi menghabiskan hampir setengah abad hidupnya bekerja di Ambon hingga akhir hayat. Namun, lain kali saja kita bahas ahli botani buta yang tak putus dirundung malang itu. Sekarang saya lebih tertarik dengan keadaan di masa muda Rumphius di abad ke-17, yang ternyata bukan tempat yang menyenangkan untuk menjalani hidup. Dan justru itulah tuas pengungkit yang begitu kuat melemparkan Rumphius ke—mengutip frase di masa itu yang berarti “minggat meninggalkan rumah”—suatu tempat di mana lada tumbuh: Hindia. Pada 1669, dengan dorongan untuk mencatat kekejaman  Perang Tiga Puluh Tahun (1618-1648)  di wilayah yang kini merupakan negara Jerman,  Hans Jakob Christoffel von Grimmelshausen (?1622-1676) menuliskan  Der Abentheurliche Simplicissimus Teutsch.  Kelak, novel tersebut dianggap sebagai karya sastra terbaik Jerman di abad ke-17. Isinya berpusar pada tokoh Simplicius denga

Sayang,

Jika sepercik rindu menghidupkan satu bintang Maka suatu hari kamu akan melihat galaksi Berpendar diam-diam dalam dekap nebula Meredam semesta menuliskan namamu di langit Depok, 25 Juni 2020

Sapi, Babi, dan Segala Larangan yang Tak Pernah Dikritisi

"Alasan lain mengapa banyak adat dan pranata tampak misterius adalah karena kita telah diajari untuk menjunjung tinggi penjelasan "spiritual" yang rumit atas fenomena kebudayaan, alih-alih penjelasan yang membumi [yang] terbangun dari soal perut, seks, energi, angin, hujan, dan fenomena lain yang biasa dan teraba." -- Marvin Harris, dalam pembatas buku  Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir. Menjawab Teka-Teki Kebudayaan.  Baru kali ini saya mendapati satu kalimat yang dikutip pada pembatas buku meringkas isi seluruh buku. Pramoedya pernah menulis, "Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya." Sungguh saya setuju, baik dengan antropolog Marvin Harris maupun dengan Pram. Sering kita mendengar konflik antarkampung dan antarnegara, berbalut perang ideologi, agama, atau harga diri suatu bangsa, setelah ditelisik ternyata hanya rebutan sumber daya alam, rebutan pasar, dan di level kampung, biasanya urusan asmara saja. Saya menyebut

Hujan Bulan Juni Petani

Tak ada yang lebih tabah Dari petani di bulan Juni Dirahasiakannya titi mangsanya Kepada pematang yang tergenang Tak ada yang lebih bijak Dari sapi petani bulan Juni Dihapuskannya jejak-jejak lukunya Yang ragu-ragu di pancaroba waktu Tak ada yang lebih arif Dari hujan bulan Juni Dibiarkannya huma dan tegalan Dimampatkan pandemi dan emisi Jakarta, 9 Juni 2020 (PSBB transisi) Hujan reda di leliku Kali Ciliwung, 9 Juni 2020. Biasanya Gunung Salak terlihat di balik halimun.

Sayang,

aku masih mencintaimu penuh seluruh meski rasamu tinggal separuh atau bahkan telah habis luruh seiring waktu yang membasuh. Jakarta, 8 Juni 2020

Jejak Evolusi dalam Segelas Susu*

Pada segelas susu yang terhidang di pagi hari atau menjelang tidur, terkandung sejarah panjang—yang masih berjalan. Tidak hanya riwayat evolusi manusia pemerahnya, evolusi sapi yang menghasilkannya, tetapi juga kisah bagaimana awal mula manusia menjinakkan dan terpikirkan untuk meminum cairan putih yang terpancar dari puting susu sapi itu. Kelak, manusia yang konon kian berperadaban ini menambahkan kasta dalam segelas susu. Sering kita mendengar kelakar setengah olokan kepada kawan yang langsung diare ketika minum susu. “Perut ndeso ,” atau “perut kampungan”, dan untuk mereka yang gemar minum susu juga tak bebas ejekan. Seperti bule, katanya. Seperti apakah perut yang kampungan itu? Dan seperti apa perut atau selera seperti bule? Mari kita telusuri lorong waktu, bermilenia lalu. Nenek moyang kita nampaknya punya deretan gigi yang kokoh, tentu saja karena mereka tidak mengkonsumsi gula, dan daging sebagai makanan utama membutuhkan gigi yang kuat. Dari mana kita tahu gigi merek