Skip to main content

...wis mati kok yo ngangeni


Pada 2 Agustus nanti, akan genap dua tahun Bapak pergi. Senantiasa teringat kata-kata Ibu:

"Pas urip pengen mateni, wis mati kok yo ngangeni."

Ngaturaken Al Fatihah, kagem Bapak yang sudah sabar mengajari saya naik sepeda dan sepeda motor--meski berkali-kali nabrak tiang listrik dan pohon. Yang sering mengisi sisa sepertiga malamnya dengan membuat rak buku kayu untuk komik-komik saya yang lebih banyak dari buku pelajaran saya, memastikan bahwa saya bangun pagi dengan sumringah karena punya rak buku baru. Yang tak pernah marah meski tiap sekolah selalu ada telepon dari guru BK ke rumah, melaporkan saya yang bermasalah ini-itu, sampai beberapa kali hampir dikeluarkan dari sekolah pun Bapak tak pernah marah. Ketika ada surat DO dari UI dikirim ke rumah, Bapak menelepon untuk meminta saya menjelaskan bagaimana saya bisa mendapat surat DO, dengan nada yang tenang, tidak marah sama sekali, yang justru membuat saya gemetar. Di akhir telepon saya berjanji akan wisuda--dan itu terpenuhi: Bapak mengantar saya wisuda di Balairung UI.

Menuju dewasa, jika ada masalah, diam-diam saya coba selesaikan sendiri, tapi Bapak adalah orang yang dikaruniai intuisi. Sering ia tetiba menelepon: "Ndak ada apa-apa, Ndhuk?"|| Nggak. || "Tenan?" || Nggak." || "Crito nek ada apa-apa" || .... saya pun bercerita sambil menangis. Masalah-masalah kecil saja ketika itu, tapi saya anak manja baru lulus kuliah.

Saya kini mengerti, betapa gemasnya Ibu, dalam rindu tak terperi.

Depok, 7 Juli 2019.

Comments

Popular posts from this blog

Sebab Hanya Anda yang Tahu Perihal “Hembus Angin Utara”

Judul asli: Gut gegen Nordwind (2006) Judul terjemahan: Hembus Angin Utara (Darbook, 2009) Penulis: Daniel Glattauer Penerjemah: Ahmad Mulyadi Saya jenis manusia konservatif. Jarang chatting kecuali ada janji. Skype dan gtalk nyala kalau ada perlu. Segala fasilitas macam BBM, iMessage, Kakaotalk, line, whatsapp, belum pernah saya sentuh. Meski akrab dengan fasilitas teleconference dan aplikasi Go To Meeting di kantor, saya tidak akan melakukannya jika kolega sama-sama berada di Jakarta. Saya lebih puas bertemu, menatap langsung wajah kawan bicara saya, membaca mimik dan gerak-gerik tubuhnya, meraba-raba senyum palsu dan tawa basa-basinya. Tidak ada yang lebih indah daripada pecah tawa bersama-sama, tidak ada yang bisa menyamai lirikan sarat konspirasi dan senyum penuh arti. Tidak akan ada ekspresi yang bisa terganti dengan hahaha, xoxoxo, ck ck ck ck, xi xi xi xi, hihihi, hohoho, bahkan wkwkwkwkw! Pun emoticon paling rumit yang tersedia di gadget Anda J Jadi, sa

A GIRL WITH A HENRI BENDEL TOTE BAG

Saya akan memulai catatan ini dengan sebuah pengakuan: saya bukan shopaholic. Saya akui sebagian besar cewek suka belanja, pun saya, tapi saya belajar untuk lebih menahan diri dan rasional, minimal tidak impulsif. Orangtua saya tidak gemar belanja, dan saya dibesarkan di kota kecil Pati, Jawa Tengah, yang membuat saya tidak terpapar pusat perbelanjaan. Satu-satunya kegiatan  shopping  yang paling menyenangkan bersama keluarga adalah memborong sayur-sayuran di dataran tinggi Kopeng--bagasi penuh sayur dan kegiatan menyenangkan berikutnya adalah mendatangi rumah tetangga satu per satu dan berbagi sayuran segar (saya paling ingat bagian ini, karena tiap kali saya disuruh memberi hantaran ke rumah tetangga, saya harus menghapal dulu kalimat bahasa Jawa halus untuk diucapkan, " Sugeng enjang/siang/sonten. Niki ngaturaken oleh-oleh saking ibu.." ---habis itu kalau ditanya macam-macam pasti jawabannya bahasa Jawa campuran ngoko-kromo + bahasa Indonesia).  Shopping  lain yang t

#EstafetBuku: Mari Berbagi Racun dalam Buku

Awalnya gw abis baca novel "Pulang" karya wartawan Tempo: Leila S. Chudori yang selama membaca dan khatamnya, bikin mood gw berantakan, menimbulkan sensasi berbagai rasa. Mungkin karena gw memang suka baca tentang "sisi hitam Indonesia", mungkin juga karena gw pernah dekat dengan seorang tapol Buru yang disiksa dengan ekor ikan pari; mungkin juga karena gw pernah sangat kesal dengan Taufik Ismail yang "merusak" peluncuran buku tapol Buru tersebut. Terlalu menyederhanakan masalah jika lo nyebut "komunis itu atheis dan membantai banyak orang di Indochina, bla bla bla.. Kalian anak muda nggak usah gampang terpesona dengan pemikiran-pemikiran kiri." Gw terhina sebagai anak muda, yang duduk sebagai pembicara dalam sebuah bedah buku di UIN Jakarta itu. Jadi, setelah baca "Pulang", gw nggak mau "tersiksa" sendirian. Gw ngerasa bahwa semua orang generasi gw dan generasi di bawah gw harus banget baca novel itu. Gw udah lama banget ga