Skip to main content

Bisakah orang India hidup tanpa bersandar pada pohon dan menyanyi lagu sendu?

Jika saya orang India, saya tidak dapat membayangkan hidup tanpa pohon. Bagaimana saya menari lagu-lagu kasmaran dengan mata melirik manja, tubuh bersandar pada pohon sembari menatap sendu dan bibir menyanyi lagu rindu, atau mencoba mencuri-curi pandang pada sang pujaan di balik lindungan suatu pokok rindang? Walaupun ini bisa jadi hanya adegan di film-film Bollywood, setidaknya kali ini, amini saja.

Kenapa? Karena India tidak main-main mengurus pepohonan dan tutupan hutannya. Sejak 2015, India bahkan berhasil meningkatkan luas tutupan hutannya sebanyak 1% (India State Forest Report 2017), yang mungkin tak terbayangkan bagi kita yang masih berjuang mencegah penggundulan dan kebakaran hutan.

Parlemen India dalam 14th Finance Commission 2015 mengeluarkan sebuah rekomendasi reformasi fiskal yang mengubah bagaimana pemasukan pajak didistribusikan untuk seluruh negara bagiannya. Ini mirip-mirip dengan Indonesia yang mengalokasikan dana tertentu di tiap provinsi dan kabupaten/kota dengan sejumlah indikator untuk memeratakan kemampuan keuangan daerah (baca: Dana Alokasi Umum). Luas wilayah, jumlah penduduk, pendapatan daerah, adalah hal yang jamak menjadi penentu penghitungan dana yang akan didistribusikan. Yang berbeda di India--sejak reformasi fiskal itu--mereka memasukkan luas tutupan hutan dalam menentukan dana yang disalurkan ke negara bagian. Komitmen ini dideklarasikan oleh parlemen India sebagai berikut:


We recognize that States have an additional responsibility towards management of environment and climate change, while creating conditions for sustainable economic growth and development. Of these complex and multidimensional issues, we have addressed a key aspect, namely, forest cover, in the devolution formula. We believe that a large forest cover provides huge ecological benefits, but there is also an opportunity cost in terms of area not available for other economic activities and this also serves as an important indicator of fiscal disability. 

Pernyataan tersebut sungguh mencerminkan sebuah itikad politik yang tidak hanya penuh tanggung jawab terhadap ekologi, namun juga memahami kompleksitasnya. Berselisih 1 milyar penduduk, bilakah Indonesia tiba pada suatu itikad nasional menjaga hutan demi memenuhi hajat hidup orang banyak? Sampai kapan kita menanti hidayah yang menggerakkan iman sehingga kita berjalan di muka bumi dengan penuh tanggung jawab dan kerendahan hati, serta memeluknya sebagai laku spiritual yang dikukuhkan dalam suatu kebijakan negara? Apakah kita sungguh hanya menjadi spesies yang menunggu hingga tiba masanya planet ini tidak layak lagi ditempati karena suhu naik dan tidak dapat menjadi habitat para makhluk bumi? Homo sapiens yang saya kenal kayanya nggak gitu, deh.

Tidak pernahkah terbetik kesadaran bahwa kita dalam masa emergensi? India menyadarinya. India melakukan sesuatu untuk mengatasinya. Dan, sejumlah kepala daerah kaya hutan di Indonesia ditemani para peneliti sudah melawat ke sana khusus untuk berkaca pada inovasi India dalam kebijakan transfer fiskalnya yang berbasis ekologis. Sebagian kembali ke Indonesia dengan hati yang masygul: apa tidak mungkin Indonesia memiliki kebijakan serupa?

Konon, negeri-negeri yang hancur adalah amsal untuk menjadi ibrah sehingga kita tidak mengulangi kepandiran suatu kaum. Alih-alih menunggu negeri ini menjadi amsal kehancuran, kenapa tidak membaliknya menjadi buah bibir keteladanan, sebagai negeri yang merawat hutan, meruwat kehidupan, dan berkontribusi dalam menahan suhu bumi supaya tidak lebih dari 1.5 derajat Celcius?


Poster film Rang De Basanti, pemenang Boscar 2007 (Oscar-nya India)


Percayalah, yang butuh bersandar pada pohon bukan hanya orang India. Saya dan kamu, menyandarkan kehidupan, bahkan dari sekadar hasil sampingan proses fotosintesis sebatang pohon: oksigen.


Jakarta, 7 Agustus 2019

#transferfiskal #ekologis




Comments

Popular posts from this blog

Sebab Hanya Anda yang Tahu Perihal “Hembus Angin Utara”

Judul asli: Gut gegen Nordwind (2006) Judul terjemahan: Hembus Angin Utara (Darbook, 2009) Penulis: Daniel Glattauer Penerjemah: Ahmad Mulyadi Saya jenis manusia konservatif. Jarang chatting kecuali ada janji. Skype dan gtalk nyala kalau ada perlu. Segala fasilitas macam BBM, iMessage, Kakaotalk, line, whatsapp, belum pernah saya sentuh. Meski akrab dengan fasilitas teleconference dan aplikasi Go To Meeting di kantor, saya tidak akan melakukannya jika kolega sama-sama berada di Jakarta. Saya lebih puas bertemu, menatap langsung wajah kawan bicara saya, membaca mimik dan gerak-gerik tubuhnya, meraba-raba senyum palsu dan tawa basa-basinya. Tidak ada yang lebih indah daripada pecah tawa bersama-sama, tidak ada yang bisa menyamai lirikan sarat konspirasi dan senyum penuh arti. Tidak akan ada ekspresi yang bisa terganti dengan hahaha, xoxoxo, ck ck ck ck, xi xi xi xi, hihihi, hohoho, bahkan wkwkwkwkw! Pun emoticon paling rumit yang tersedia di gadget Anda J Jadi, sa

#EstafetBuku: Mari Berbagi Racun dalam Buku

Awalnya gw abis baca novel "Pulang" karya wartawan Tempo: Leila S. Chudori yang selama membaca dan khatamnya, bikin mood gw berantakan, menimbulkan sensasi berbagai rasa. Mungkin karena gw memang suka baca tentang "sisi hitam Indonesia", mungkin juga karena gw pernah dekat dengan seorang tapol Buru yang disiksa dengan ekor ikan pari; mungkin juga karena gw pernah sangat kesal dengan Taufik Ismail yang "merusak" peluncuran buku tapol Buru tersebut. Terlalu menyederhanakan masalah jika lo nyebut "komunis itu atheis dan membantai banyak orang di Indochina, bla bla bla.. Kalian anak muda nggak usah gampang terpesona dengan pemikiran-pemikiran kiri." Gw terhina sebagai anak muda, yang duduk sebagai pembicara dalam sebuah bedah buku di UIN Jakarta itu. Jadi, setelah baca "Pulang", gw nggak mau "tersiksa" sendirian. Gw ngerasa bahwa semua orang generasi gw dan generasi di bawah gw harus banget baca novel itu. Gw udah lama banget ga

A GIRL WITH A HENRI BENDEL TOTE BAG

Saya akan memulai catatan ini dengan sebuah pengakuan: saya bukan shopaholic. Saya akui sebagian besar cewek suka belanja, pun saya, tapi saya belajar untuk lebih menahan diri dan rasional, minimal tidak impulsif. Orangtua saya tidak gemar belanja, dan saya dibesarkan di kota kecil Pati, Jawa Tengah, yang membuat saya tidak terpapar pusat perbelanjaan. Satu-satunya kegiatan  shopping  yang paling menyenangkan bersama keluarga adalah memborong sayur-sayuran di dataran tinggi Kopeng--bagasi penuh sayur dan kegiatan menyenangkan berikutnya adalah mendatangi rumah tetangga satu per satu dan berbagi sayuran segar (saya paling ingat bagian ini, karena tiap kali saya disuruh memberi hantaran ke rumah tetangga, saya harus menghapal dulu kalimat bahasa Jawa halus untuk diucapkan, " Sugeng enjang/siang/sonten. Niki ngaturaken oleh-oleh saking ibu.." ---habis itu kalau ditanya macam-macam pasti jawabannya bahasa Jawa campuran ngoko-kromo + bahasa Indonesia).  Shopping  lain yang t