Skip to main content

A GIRL WITH A HENRI BENDEL TOTE BAG


Saya akan memulai catatan ini dengan sebuah pengakuan: saya bukan shopaholic.

Saya akui sebagian besar cewek suka belanja, pun saya, tapi saya belajar untuk lebih menahan diri dan rasional, minimal tidak impulsif. Orangtua saya tidak gemar belanja, dan saya dibesarkan di kota kecil Pati, Jawa Tengah, yang membuat saya tidak terpapar pusat perbelanjaan. Satu-satunya kegiatan shopping yang paling menyenangkan bersama keluarga adalah memborong sayur-sayuran di dataran tinggi Kopeng--bagasi penuh sayur dan kegiatan menyenangkan berikutnya adalah mendatangi rumah tetangga satu per satu dan berbagi sayuran segar (saya paling ingat bagian ini, karena tiap kali saya disuruh memberi hantaran ke rumah tetangga, saya harus menghapal dulu kalimat bahasa Jawa halus untuk diucapkan, "Sugeng enjang/siang/sonten. Niki ngaturaken oleh-oleh saking ibu.."---habis itu kalau ditanya macam-macam pasti jawabannya bahasa Jawa campuran ngoko-kromo + bahasa Indonesia). Shopping lain yang tak kalah menyenangkan waktu kecil adalah mencari anak kelinci di pasar hewan, Kudus. Itu saja.

Dan di sinilah saya sekarang, di ibukota negara adidaya: Amerika Serikat, dengan jajaran merk-merk dunia cuma sekian langkah jaraknya dari apartemen saya. Hampir semua merk itu ada di Jakarta. Kalau kalian penggemar Zara dan jejeritan di twitter ketika Zara sedang diskon, saya tidak pernah tertarik. Saya juga tidak pernah masuk toko Zara di mana pun, sampai beberapa minggu yang lalu. Iya, akhirnya untuk pertama kalinya saya masuk outlet Zara, di sini, di Georgetown, Washington DC. Saya masuki seluruh toko di Georgetown, dari H&M, Banana Republic, Benetton, Apple--buat nyobain mini iPad--, Urban Fitters, Anthropologie (I'm in love with this chain, finally I found my fashionmate===> http://www.anthropologie.com/anthro/index.jsp), Kate Spade, Bebe, Marc Jacobs, you name it... Dan langkah saya berakhir di Sungai Potomac (kalau suka baca National Geographic, sungai ini sering sekali disebut. Saya menemukan artikel di National Geographic edisi tahun 1976 ketika Sungai Potomac dibersihkan); dan beruntung sekali bisa melihatnya, sembari membayangkan pada tahun 1970-an, Amerika berjuang membersihkan sungai itu hingga bisa dinikmati keindahannya kini. Ciliwung dan Kali Besar pun bisa kita nikmati kalau kita segigih Amerika membersihkan kalinya. Jembatan Kota Intan di Kota Tua itu, cuma Jakarta yang punya. Setidaknya, untuk generasi mendatang kita persembahkan indahnya Jembatan Kota Intan, salah satu yang tercantik di Batavia, Ratu dari Timur.

Setidaknya, saya kini tahu apa yang ada di toko merk-merk terkenal itu. Baju. Sepatu. Beberapa memang menarik. Rok, tas, gaun dan apa pun di Anthropologie bikin mata saya berbinar-binar, warna dan desainnya beda. Tapi sekali lagi, tidak masuk akal jika saya membeli baju di situ, betapa pun cantik gaun di situ dan terbayang-bayang terus sampai tak bisa tidur. Suatu hari jika saya kembali ke kota ini, saya pasti akan menyisihkan uang untuk bisa membeli setidaknya sweater rajut untuk ibu saya, atau rok sulam bohemian untuk diri saya sendiri. Kalau tidak pernah terwujud pun tak apa. Saya tidak akan "mati galau"--meminjam istilah kawan saya, Swasti Istika--kalau suatu barang tak terbeli sampai mati. Bung Hatta, proklamator yang saya kagumi, sampai mati tak berhasil membeli sepatu idamannya, merknya Bally. Konon sepatu itu paling happening saat itu. Guntingan iklan sepatu itu masih tersimpan sampai wafatnya. Bung Hatta, Wakil Presiden Republik Indonesia, menabung hari demi hari untuk bisa membeli sepasang sepatu Bally, dan sampai mati uangnya tak mencukupi. Indah. Indah karena Bung ini tentu tak terpikir sedikit pun untuk mengutip anggaran negara atau memanfaatkan segala macam tunjangan untuk memenuhi keinginan remeh-temeh duniawi itu. Indah, karena dari Bung ini, saya belajar malu jika punya keinginan yang sama sekali tak signifikan, apalagi sampai perlu merugikan orang banyak. Kalian setuju itu, Yang Mulia Anggota Dewan?

Selain Georgetown, ada satu pusat perbelanjaan besar di Pentagon City, DC. Bangun siang di Black Friday tentu tabu bagi cewek-cewek penggila belanja. Di koran saya baca bahwa orang mulai mengantri di depan mall/chain/outlet sejak jam lima subuh demi diskon dan barang idaman. Saya tahu, tapi saya tidak suka bangun pagi, apalagi bangun subuh. Hell no--Hell yes, kata Neraka, kamu jarang solat Subuh!

Tapi saya ingin merasakan atmosfer Black Friday. Saya ingin tahu apa yang dilakukan penduduk Amerika Serikat tepat sehari setelah Hari Pengucapan Syukur---Thanksgiving. Saya penasaran apa yang mereka lakukan setelah di malam sebelumnya duduk melingkar bersama keluarga dan mensyukuri segala pemberian-Nya. O la la.. ternyata mereka benar-benar "bersyukur" :) Saya ke mall sekitar jam 11 siang, dan di stasiun metro saya bertemu orang-orang baru kembali dari Macy's---apa sih ini? Semacam Matahari kali ya? Saya ingatnya ada Macy's Parade di Hari Thanksgiving di New York---sembari menenteng serenteng kantong belanja. Dan tibalah saya di Pentagon City. Saya jalan-jalanwindow shopping masuk satu toko ke toko lain, memperhatikan anomali hari itu, dan tiba-tiba mata saya tertuju pada satu tas di etalase. Sebuah tote bag. Saya masuki toko itu dan disambut ramah pramuniaga yang baik paras maupun tubuhnya mirip sekali Tyra Bank. Berbusa-busa pramuniaga itu menggambarkan betapa cantik tote bag itu. Saya juga setuju kok, Mbak. Tapi harganya 79 dollar. I said no, dan keluar dari toko itu.

Keluar dari toko itu--ketika itu saya tidak tahu namanya sama sekali--mulailah saya dihinggapi sindrom yang sering dialami kaum Hawa. Tas itu terus terbayang-bayang di pelupuk mata dan membuat langkah saya menjadi pelan sedemikian rupa, pun ketika saya makan sushi sendirian kelaparan kepikiran tas idaman, saya lupa betapa saya harusnya sangat suka sushi, bukan sangat suka tas itu. 

Jam lima sore, dua jam setelah saya makan sushi, saya memutuskan kembali ke toko itu! Kali ini dengan iman terbarukan: saya menginginkan tas itu! Ha ha!
And the girl in the shop smiled at me, "You're back!" Senyum kemenangan di wajahnya yang bak model di TV kabel langganan.
Dan.. la la la la! "Don't Forget Me" tote bag itu begitu cepat berpindah tangan :)

Dan tas itulah yang kini menemani saya ke kantor setiap hari, setelah sebelumnya saya ke mana-mana selalu memakai ransel.

Saya suka tas itu. 
Dan beberapa kali di kereta metro, saya mendapati cewek-cewek mencuri pandang pada tas saya.
Di eskalator, seseorang menegur saya, "I like your bag." Thank you.
Di sebuah restoran Meksiko, saya menggantungkan tas saya di kursi, ketika saya berdiri dan membalikkan badan, seseorang tersenyum, "I love your bag." Thank you.
Oh, well, apakah tas saya seleranya pasaran atau bagaimana ya? :)

Sore tadi, seperti biasa, begitu memasuki lobby apartemen, saya langsung menghangatkan diri dengan menyeduh cokelat panas. Seorang cewek yang sedang antri membuat minuman menegur saya, "Oh, your bag.. wonderful! Where did you buy it?" sembari matanya tak lepas memandangi tas saya.
"Oh, somewhere in Pentagon City. Black Friday, more discounts, you know..."
"Is it Henri Bendel?"
"Pardon? Oh, yes, it is!"---mulai sadar merk.



Dan saya ingat, ketika saya membeli tas ini, saya dapat kartu diskon yang bisa digunakan jika saya membeli sesuatu di toko mereka yang berlaku dari tanggal sekian sampai tanggal sekian---saya tidak ingat persis, saya melarang diri saya kembali ke toko itu, setidaknya tahun ini.
Dan saya pun menawarkan kartu diskon itu, $25 discount, ke cewek itu, Kelly Lux namanya---namanya saja sudah tas bermerk, Kelly Bag by Hermes; dan saya tahu jenis tas ini karena saya mengerjakan buku Julia Suryakusuma "Ibuisme Negara. Konstruksi Keperempuanan Orde Baru", dengan sampul karya Astari Rasyid, lukisan Dewi Saraswati sedang memegang Kelly Bag.

Mata Kelly berbinar-binar, persis yang saya duga. "You don't wanna use it?"
"No, the card is valid through.. I forget. But I will back to my country next month, so.. it will be useless.."
Saya mengaduk-aduk tas mencari kartu diskon itu, Kelly menunggu tak sabar.
Dan setelah sekian lama, ketemulah kartu diskon itu di antara halaman buku saya yang judulnya "Research Universities and The Future of Amerika" (buku ini bisa diunduh gratis dalam bentuk pdf di sini===> http://sites.nationalacademies.org/PGA/bhew/researchuniversities/index.htm).
"Uhm, is it your bookmark?" tanya Kelly pelan.
"Oh, don't worry, I have another bookmark."
"Like.. another discount card?" :)
"Ahahaha, no Kelly, it's more obvious. Like this one dollar?" jawab saya sembari menyelipkan selembar satu dollar pengganti pembatas buku saya -___-'

Dan malam ini, saya akhirnya membuka situs Henri Bendel (http://www.henribendel.com/). Sepertinya tidak ada tokonya di Jakarta. Ahahaha! Dan nambah satu pengetahuan saya tentang merk.
Malam ini saya juga belajar mengerti perasaan kaum Hawa dalam hal shopping, barang bermerk, dan perasaan lemah sekaligus kuat ketika dihadapkan pada keduanya. Ya..ya..ya.. saya mengerti gelora di mata kalian ketika melihat kata "SALE" tercetak merah pada alas putih di toko-toko favorit kalian, ladies!

*semoga suatu hari saya tidak akan menulis sebuah catatan dengan sebuah pengakuan: saya seorang shopaholic!
  Ingatkan saya tentang kisah sepatu Bally Bung Hatta jika itu terjadi pada saya. Terimakasih :)

5 Desember 2012, Dupont Circle, DC.

Comments

Popular posts from this blog

Sebab Hanya Anda yang Tahu Perihal “Hembus Angin Utara”

Judul asli: Gut gegen Nordwind (2006) Judul terjemahan: Hembus Angin Utara (Darbook, 2009) Penulis: Daniel Glattauer Penerjemah: Ahmad Mulyadi Saya jenis manusia konservatif. Jarang chatting kecuali ada janji. Skype dan gtalk nyala kalau ada perlu. Segala fasilitas macam BBM, iMessage, Kakaotalk, line, whatsapp, belum pernah saya sentuh. Meski akrab dengan fasilitas teleconference dan aplikasi Go To Meeting di kantor, saya tidak akan melakukannya jika kolega sama-sama berada di Jakarta. Saya lebih puas bertemu, menatap langsung wajah kawan bicara saya, membaca mimik dan gerak-gerik tubuhnya, meraba-raba senyum palsu dan tawa basa-basinya. Tidak ada yang lebih indah daripada pecah tawa bersama-sama, tidak ada yang bisa menyamai lirikan sarat konspirasi dan senyum penuh arti. Tidak akan ada ekspresi yang bisa terganti dengan hahaha, xoxoxo, ck ck ck ck, xi xi xi xi, hihihi, hohoho, bahkan wkwkwkwkw! Pun emoticon paling rumit yang tersedia di gadget Anda J Jadi, sa

#EstafetBuku: Mari Berbagi Racun dalam Buku

Awalnya gw abis baca novel "Pulang" karya wartawan Tempo: Leila S. Chudori yang selama membaca dan khatamnya, bikin mood gw berantakan, menimbulkan sensasi berbagai rasa. Mungkin karena gw memang suka baca tentang "sisi hitam Indonesia", mungkin juga karena gw pernah dekat dengan seorang tapol Buru yang disiksa dengan ekor ikan pari; mungkin juga karena gw pernah sangat kesal dengan Taufik Ismail yang "merusak" peluncuran buku tapol Buru tersebut. Terlalu menyederhanakan masalah jika lo nyebut "komunis itu atheis dan membantai banyak orang di Indochina, bla bla bla.. Kalian anak muda nggak usah gampang terpesona dengan pemikiran-pemikiran kiri." Gw terhina sebagai anak muda, yang duduk sebagai pembicara dalam sebuah bedah buku di UIN Jakarta itu. Jadi, setelah baca "Pulang", gw nggak mau "tersiksa" sendirian. Gw ngerasa bahwa semua orang generasi gw dan generasi di bawah gw harus banget baca novel itu. Gw udah lama banget ga