Kudengar langkah kaki. Cara dia menyeret kaki sudah terlampau akrab di kupingku.
Maghrib mengetuk pintu linimasaku yang memang kubiarkan terbuka.
"Sibuk, kau?" tanyanya sambil mendaratkan pantatnya di lantai, tak ditunggunya jawabanku.
Aku diam saja. Sering sekali kudengar ia bertanya begitu. Sampai bosan.
"Kau bertemu Subuh tadi pagi?" tanyanya lagi.
Aku menatapnya sejenak, lalu mataku kembali ke layar sembari menggeleng.
"Subuh senang sekali kalau kau datang. Tak setiap hari memang, tapi katanya kau yang paling dia nantikan?"
"Subuh? Paling menantikanku?" tanyaku sembari mengangkat sebelah alis.
Maghrib mengangguk, membuat anak rambutnya jatuh di pelipis.
"Aku selalu menemuinya setengah terpaksa, dan entahlah, menurutku ia terlalu pagi datang. Jadi seringkali aku masih mengantuk. Ya, begitulah.." jawabku.
Maghrib tersenyum. Aku tahu dia selalu tampan, tanpa senyum sekalipun. Konon banyak penyair dan pelukis jatuh cinta pada parasnya. "Mulutmu saja bicara begitu."
"Hei, aku tidak bohong," tukasnya.
"Lagipula kenapa Subuh paling menantikanku? Aku bukan kawan yang rajin menyambanginya," dalihku.
"Lagipula kenapa Subuh paling menantikanku? Aku bukan kawan yang rajin menyambanginya," dalihku.
"Ya, ya.. kau memang bukan kawan yang rajin bertandang. Tapi ketika kau datang, kau bicara dari hati. Subuh sering berkaca-kaca mendengar doamu."
"Ah, doaku standar saja.. Subuh terlalu banyak nonton drama. Di mana indahnya doa perempuan yang sedang menahan kantuk?"
"Dan airmata"
Aku diam. Keparat kau, Maghrib!
Maghrib melirikku yang mati kutu. Oh, mata ini rupanya yang membuat perempuan dan laki-laki jatuh cinta. Mata senja, demikian mereka menyebutnya.
"Tak bosan kau mengeja nama yang sama?"
"Kau mungkin, yang bosan mendengarnya?" balasku sinis.
Maghrib tertawa, dan terbitlah semburat cahaya berwarna jingga. Konon dengan melihatnya saja seorang pemuda jadi tahu bagaimana memikat perawan remaja.
"Kalau aku bosan, bosan juga harusnya aku dengar kau doakan ayah ibumu. Aku dengar juga si Dhuhur, Ashar dan Isya beberapa kali membicarakan kau."
"Hei, aku tak pernah lupa mengunjungi mereka. Kadang memang aku terlambat dan tergesa, tapi mereka paling mudah kutemui. Lagipula senang juga aku ketemu mereka, anggaplah rehat, ngobrol-ngobrol sedikit. Apa lagi yang mereka keluhkan tentangku?"
"Aku tak bilang mereka mengeluhkan kau!"
"Lantas?"
"Mereka membicarakan laki-laki yang selalu kau sebut dalam doamu," jawabnya menyeringai jahil. Maghrib jarang bercanda, mungkin kali ini suasana hatinya sedang bagus.
"Bilang pada kawan-kawanmu itu: itu derita kalian!"
"Ha ha ha! Kawan yang jarang muncul pun kenal sama penyamun hatimu itu!" Maghrib tertawa puas. Di atas angin dia rupanya.
"Siapa kawan yang kau maksud?"
"Kau tahulah si Tahajud," jawablah sembari mengerling.
"Oh, apa kabar dia?"
"Apalah kau ini?! Kau ketemu dia kemarin lusa dan kemarin lusanya lagi!" jawabnya sembari memukul pundakku.
"Apa sih kerjamu? Menguntitku? Banyak waktu luang kau rupanya sampai tahu segitu banyaknya," jawabku kesal.
"Kata Tahajud, kau cantik sekali kalau jam 3 pagi. Cerah katanya wajah bulatmu itu! Ha!"
"Nanti kalau aku ketemu Tahajud lagi, akan aku coreng-coreng mukaku pakai arang. Biar tak usil mulutnya," kataku.
"Tulis jugalah nama penyamun hatimu itu pakai arang di jidatmu. Biar tak capek kau rapal-rapal namanya, hehe..."
Kulirik si Maghrib, sejak kapan dia demikian jahil? Apakah dia baru menerima kartupos bergambar senja dari seorang pemuja di utara?
"Terserah kaulah!" jawabku sembari meninggalkannya.
"Jangan lekas marah, kawan. Mau ke mana kau?"
"Si Isya sudah mau datang, Ghrib.. Pulanglah kau, carilah orang lain buat kau ganggu-ganggu."
"Ah, paling asyik mengganggumu. Paling kau mau adukan aku ke Isya kan? Jangan lupa ya, template doa: ayah-ibu dan penyamun hat..."
Kuguyur Maghrib dengan air wudlu sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya! Bawelnya dia malam ini!
Dupont Circle, DC, 30 November 2012, menyongsong Isya.
Comments
Post a Comment