Skip to main content

Selama Kamu Menjadi Bagian dari Semesta, Maka Kamulah Perpustakaan Itu


Indonesia macam apa yang akan kita miliki kelak jika anak-anak, remaja dan pemudanya kini enggan membaca? Dari mana para calon pemimpin ini memiliki referensi membuat keputusan, tanpa terasah nalarnya dari segala problematika yang sebagian bisa diraih lewat membaca? Dari mana logika dan diplomasi untuk bekal mengarungi hidup jika tak terbiasa mengikuti logika berbahasa, matematika, filsafat, sastra, sejarah dan segala macam ilmu humaniora? Dari mana kearifan sebagai manusia jika kita tak sedari muda berkaca pada tokoh-tokoh yang langkah hidupnya, segala pemikirannya, menginspirasi kita?

Percayalah, semakin banyak tahu, semakin besar ruangmu melihat segala sesuatu. Saya tidak menjanjikan bahwa dengan berilmu segalanya menjadi lebih mudah—bahkan mungkin sebaliknya—tapi saya percaya bahwa dengan ilmu segalanya lebih terarah.

Ingat waktu sekolah, rumus (matematika) tertentu yang kita pahami dengan baik, akan membawa kita pada satu jawaban pasti, meski sejumlah langkah harus satu per satu dilewati dengan teliti dan telaten, tapi begitu sampai pada hasil akhir “TERBUKTI”, puaslah kita.

Kenapa bangsa ini malas membaca? 
Jelas yang pertama karena kita tidak menjadikan itu sebagai budaya, bagian hidup sehari-hari. Keluarga adalah agen utama yang sangat menentukan apakah seorang anak gemar membaca atau tidak. Seringkali membaca hanya dianggap sebagai pembunuh waktu. Sering kita sedang asyik membaca di tempat umum, lalu orang sebelah kita tetap mengajak mengobrol. Alih-alih ia minta maaf karena mengganggu kita yang sedang larut membaca, kita yang akan dituduh tidak sopan jika tidak menanggapi obrolannya.

Padahal banyak perpustakaan di sekitar kita—setidaknya bagi kita yang tinggal di kota. Nggak usah kota juga, sih. Saya dulu tinggal di sebuah kota kecil, Pati, dan hampir setiap hari saya dan teman-teman sekolah meminjam/mengembalikan buku di perpustakannya yang walaupun kecil, cukup beragam koleksinya. Di situlah pertama kali saya membaca Tahta untuk Rakyat (biografi Sultan Hamengkubuwono IX) dan biografi Bung Hatta—tokoh yang kearifan dan kesederhanannya senantiasa menginspirasi saya. 

Perpustakaan SMA (1 Pati) saya juga sangat lengkap. Saya ingat meminjam Apologia-nya Socrates dan Pengkhianatan Kaum Cendekiawan-Julien Benda di situ; selain tentunya buku-buku sastra klasik Indonesia yang sering dibahas di kelas oleh para guru Bahasa Indonesia saya. Belum lagi persewaan komik yang menjamur di sekitar tempat tinggal saya. Itu Pati, lho! Tentu saya membayangkan teman-teman di kota yang lebih besar mendapat fasilitas bacaan (baca: perpustakaan) lebih akomodatif ketimbang saya.

Tapi, lagi-lagi, keberadaan perpustakaan tidak lantas menjadikan anak-anak usia sekolah berbondong-bondong ke sana. Malas dan membosankan, katanya. Saya juga sangat rajin main kok, tidak melulu ke perpustakaan, tapi pasti ada kalanya saya terdampar di rumah membaca buku; apa saja yang tersedia. Kalau sejak kecil tidak dibiasakan membaca, terpapar buku-buku, terpapar keluarga yang sedang asyik membaca—eh ini bener lho. Mau guling-guling cari perhatian kalo nyokap lagi serius banget baca koran, mau apa kita?—maka minat itu akan sulit tumbuh.

Kalau memang sangat malas melangkahkan kaki menuju perpustakaan, maka saya dan teman-teman #EstafetBuku menawarkan sebuah perpustakaan (rintisan) yang jaraknya secepat kamu klik “tweet”. Masihkah malas membaca ketika buku yang kamu mau tinggal “ditwit”, terus nggak sampai seminggu buku itu tiba di depan rumahmu. Masih malaskah?

Bahkan kamu bisa menjadi perpustakaan itu sendiri.

Perpustakaan maya #EstafetBuku tidak memiliki gedung. Bangunan perpustakaannya ya semesta ini, tak terhingga luasnya, sedangkan sekretariat perwakilan semesta ada di sini dan meja sirkulasinya interaktif via akun twitter @EstafetBuku. Seperti halnya perpustakaan konvensional, kamu pun akan bertemu banyak kawan sesama pengunjung perpustakaan.

Lalu, bagaimana kamu bisa menjadi sebuah perpustakaan?—Iya, sebuah perpustakaan, bukan seorang pustakawan. 

Ketika kamu menjadi starter dengan “melempar buku ke semesta”, kamu adalah rak buku yang salah satu koleksinya dipinjam seorang pengunjung perpustakaan. Pun ketika kamu menjadi runner, kamu menerima estafet sebuah buku dari seorang starter atau runner lain, kamu pun menjadi sebuah perpustakaan.  Sadarkah kamu, ketika kamu menerima sebuah buku, kamu sedang menerima pengembalian buku? Dan ketika kamu sedang memberi sebuah buka, kamu sedang mengembalikannya? Iya, karena semua orang adalah perpustakaan. Misalnya, ketika saya melempar novel Pulang-Leila Chudori, saya melemparkannya kepada perpustakaan semesta, lalu novel itu tiba pada sebuah perpustakaan bernama @epicachu di daerah Depok dan kebetulan dibaca oleh penjaga perpustakaannya, yaitu Epica. Setelah tamat, Epica mengembalikan novel itu kepada perpustakaan lain di Padang yang siap menyambutnya, yaitu @MalkisCrackers. Buku ini pun dibaca penjaga perpustakaannya yang bernama Yeyen. Mungkin Yeyen lama menunggu ada perpustakaan lain menyambut pengembalian bukunya. Ketika lama berada di rumah Yeyen itu, bukan berarti Yeyen menyimpan untuk dirinya sendiri. Begitu ia mengumumkan pada semesta bahwa ia sudah selesai membaca dan siap “mengembalikan” pada “perpustakaan” lain, maka otomatis ia dianggap sudah mengembalikan buku, hanya saja buku itu sedang berada di perpustakaannya karena ia tak mungkin melempar buku tanpa alamat sebuah perpustakaan baru.

Seperti saya saat ini. Saya sudah “mengembalikan” roman Hembus Angin Utara hasil hibah dari perpustakaan @fidellanandhita sejak lama; tapi belum ada perpustakaan baru menyambutnya. Saat ini pun saya sedang membaca Eldorado Network, sebuah novel asyik yang saya pinjam dari sebuah perpustakaan di Bandung bernama @ariaenggar. Saya tidak menganggap saya sedang meminjam dua buku sekaligus. Sebagai pelari estafet, saya sudah menyelesaikan lintasan saya bernama Hembus Angin Utara. Sebagai penjaga perpustakaan, saya juga sudah selesai “numpang membaca” roman itu, dan selama buku itu belum menemukan rumah baru, perpustakaan tempat saya harus “mengembalikan” buku itu, maka tugas saya adalah menjaga Hembus Angin Utara supaya tidak hilang, keselip, atau rusak; karena roman itu sewaktu-waktu bisa diminta “pemilik barunya” dan saya harus segera menyiapkannya tanpa ngeles seperti, “Duh, ilang..”; “Yah, di mana ya? Udah lama sih, keselip..”; “Yah, rusak.. kesiram air minum.” Nah, tugas kita juga mencarikan perpustakaan baru agar si buku segera kembali pulang; tidak berlama-lama melayang-layang di langit semesta.

Nah, kejawab kan sekarang pertanyaan, “Min, buku gw belom ada peminatnya nih, tapi gw pengen buku X.” Selama kamu jujur menyelesaikan lintasanmu, lalu melapor ketika tiba di garis finish bahwa “tongkat buku”-mu siap "dikembalikan" kepada pelari lain, maka dengan demikian kamu dianggap sudah “mengembalikan” buku kepada semesta; hanya saja karena belum ada “perpustakaan baru” yang dituju, untuk sementara, kamulah perpustakaannya dan kamulah penjaganya; siap sedia jika sebuah perpustakaan entah di pelosok Indonesia mana berteriak meminta buku yang sedang kamu jaga untuk dikembalikan.. J

Mungkin, selama kamu menjadi penjaga buku perpustakaan, kamu bisa meminjamkannya kepada adik, kakak, ayah, ibu, asisten rumahtangga, asal kamu tetap tetap bertanggungjawab menjaganya. Dengan demikian, kamulah penyebar racun membaca itu di rumahmu dan mungkin di lingkungan tempat tinggalmu.

Jadi, begitulah perpustakaan semesta bekerja. Saya, kamu, pelari, penjaga perpustakaan, dan perpustakaan itu sendiri. Tak perlu menyalahkan jarak dan waktu menuju perpustakaan untuk meminjam buku. Klik “tweet” itu hanya sekejap mata dan kamu bukan hanya “meracuni” dirimu sendiri, tetapi juga orang lain.

Dengan efek berantai twitter, bayangkan berapa ribu orang akan membaca, berapa perpustakaan tercipta, berapa juta buku berkeliaran di langit semesta, dan paling tidak kita berkontribusi mengurangi kemalasan membaca pemuda-pemudi Indonesia, di mana kelak di tangan mereka—tangan kita, generasi muda—estafet kepemimpinan negeri ini akan dikembalikan. Maka bersiaplah sebaik mungkin, untuk menjadi pelari estafet tanggungjawab, dengan tongkat berupa buku maupun kepemimpinan.

Salemba, 17 April 2013

Comments

Popular posts from this blog

Sebab Hanya Anda yang Tahu Perihal “Hembus Angin Utara”

Judul asli: Gut gegen Nordwind (2006) Judul terjemahan: Hembus Angin Utara (Darbook, 2009) Penulis: Daniel Glattauer Penerjemah: Ahmad Mulyadi Saya jenis manusia konservatif. Jarang chatting kecuali ada janji. Skype dan gtalk nyala kalau ada perlu. Segala fasilitas macam BBM, iMessage, Kakaotalk, line, whatsapp, belum pernah saya sentuh. Meski akrab dengan fasilitas teleconference dan aplikasi Go To Meeting di kantor, saya tidak akan melakukannya jika kolega sama-sama berada di Jakarta. Saya lebih puas bertemu, menatap langsung wajah kawan bicara saya, membaca mimik dan gerak-gerik tubuhnya, meraba-raba senyum palsu dan tawa basa-basinya. Tidak ada yang lebih indah daripada pecah tawa bersama-sama, tidak ada yang bisa menyamai lirikan sarat konspirasi dan senyum penuh arti. Tidak akan ada ekspresi yang bisa terganti dengan hahaha, xoxoxo, ck ck ck ck, xi xi xi xi, hihihi, hohoho, bahkan wkwkwkwkw! Pun emoticon paling rumit yang tersedia di gadget Anda J Jadi, sa

#EstafetBuku: Mari Berbagi Racun dalam Buku

Awalnya gw abis baca novel "Pulang" karya wartawan Tempo: Leila S. Chudori yang selama membaca dan khatamnya, bikin mood gw berantakan, menimbulkan sensasi berbagai rasa. Mungkin karena gw memang suka baca tentang "sisi hitam Indonesia", mungkin juga karena gw pernah dekat dengan seorang tapol Buru yang disiksa dengan ekor ikan pari; mungkin juga karena gw pernah sangat kesal dengan Taufik Ismail yang "merusak" peluncuran buku tapol Buru tersebut. Terlalu menyederhanakan masalah jika lo nyebut "komunis itu atheis dan membantai banyak orang di Indochina, bla bla bla.. Kalian anak muda nggak usah gampang terpesona dengan pemikiran-pemikiran kiri." Gw terhina sebagai anak muda, yang duduk sebagai pembicara dalam sebuah bedah buku di UIN Jakarta itu. Jadi, setelah baca "Pulang", gw nggak mau "tersiksa" sendirian. Gw ngerasa bahwa semua orang generasi gw dan generasi di bawah gw harus banget baca novel itu. Gw udah lama banget ga

A GIRL WITH A HENRI BENDEL TOTE BAG

Saya akan memulai catatan ini dengan sebuah pengakuan: saya bukan shopaholic. Saya akui sebagian besar cewek suka belanja, pun saya, tapi saya belajar untuk lebih menahan diri dan rasional, minimal tidak impulsif. Orangtua saya tidak gemar belanja, dan saya dibesarkan di kota kecil Pati, Jawa Tengah, yang membuat saya tidak terpapar pusat perbelanjaan. Satu-satunya kegiatan  shopping  yang paling menyenangkan bersama keluarga adalah memborong sayur-sayuran di dataran tinggi Kopeng--bagasi penuh sayur dan kegiatan menyenangkan berikutnya adalah mendatangi rumah tetangga satu per satu dan berbagi sayuran segar (saya paling ingat bagian ini, karena tiap kali saya disuruh memberi hantaran ke rumah tetangga, saya harus menghapal dulu kalimat bahasa Jawa halus untuk diucapkan, " Sugeng enjang/siang/sonten. Niki ngaturaken oleh-oleh saking ibu.." ---habis itu kalau ditanya macam-macam pasti jawabannya bahasa Jawa campuran ngoko-kromo + bahasa Indonesia).  Shopping  lain yang t